JUARA YANG MENGHAMBA

Jika Anda penggemar olah raganya kaum pria, Anda bakal suka nonton UFC juga. Dan tadi malam, menjadi momen yang istimewa. Ketika Khabib Nurmagomedov berhadapan dengan Justine Gaethje. Istimewanya luar biasa. Dan banyak pula ragam keistimewaannya.

Lihat bagaimana Khabib begitu respek kepada lawan-lawannya. Setelah pertandingan usai. Khabib memuji Gaethje yang telah dikalahkannya. Juga Poirier dan lawan-lawan lain sebelumnya, dihormatinya pula. Kecuali connor mcgregor yang rasialis dan gemar merendahkan orang lain itu. Seperti dikatakannya; “Orang lain tidak melihat Al-Quran. Tapi mereka melihat nilai-nilai Qurani dalam perilaku kita.” Dan Khabib, telah menjadi model kekiniannya.

Adakah istimewa lainnya? Sujud. Perhatikan dalam rekornya yang 29 kali menang tanpa kalah itu. Khabib, selalu merayakannya dengan sujud. Tidak pernah dengan sesumbar menepuk dadanya. Khabib, bersujud. 

Mari kita lihat lagi, seperti apa sujud itu. Kita berlutut. Lalu meletakkan kepala diatas tanah dengan dahi dan wajah kita menyentuh tempat terendah yang biasanya menjadi pijakan telapak kaki kita. Sujud. Tanda bahwa seseorang rela menjadi hamba. Maka juara yang bersujud, adalah juara yang menghamba.

Dalam Islam, demikianlah Rasulullah mengajarkan. Bahwa setiap pencapaian yang kita raih, hakikatnya diberikan oleh Allah. Maka merayakan kemenangan dengan sujud, adalah tanda seseorang mengikuti Rasulullah sebagai uswatun hasanah.

Kita, bukan petarung. Maka dalam konteks kita, kemenangan bisa bermakna banyak hal. Nafkah yang kita dapatkan misalnya. Pada hakekatnya, nafkah itu bukan semata hasil cucuran keringat kita. Melainkan pemberian dari Allah yang maha kaya. Maka, apa yang pantas menjadikan kita jumawa? Tidak ada.

Bersujud. Itulah yang Allah perintahkan via Rasulnya kepada kita, atas setiap pencapaian yang kita dapatkan. Dapat berita baik, sujud. Dapat kabar menyenangkan sujud. Dapat orderan pun bersujud. Karena sujud, adalah kebiasaan para hamba yang sadar bahwa dirinya tidak berdaya. Hanya Allah yang punya kuasa.

Maka sujud menjadi tanda penyerahan diri kita kepada Allah ta’ala. Sekaligus harapan atas pertolongannya selama kita di dunia. Dan permohonan agar Allah, berkenan memberikan tempat paling indah di akhirat kelak. Sujud, adalah jalannya.

Khalifah Umar Bin Khattab. Juara gulat pada masanya. Pembawa syiar syahadat ke berbagai penjuru dunia. Penakluk kekaisaran Romawi yang dominan dizamannya. Tak diragukan keperkasaannya. Tapi dia sering kedapatan menangis sendirian. Sampai akhirnya seseorang bertanya;”Wahai amirul mukminin, apakah gerangan yang membuat engkau menangis?”

Rupanya, Umar menangis bukan karena sedih atau kecewa. Bukan. “Kalau aku mati,” katanya. “Aku akan berpisah dengan hal yang paling aku cintai.” Lalu, apakah gerangan yang paling dicintai itu? Sujud. Umar, sangat mencintai sujud. Saking cintanya Umar pada sujud, hanya satu hal yang dia tangisi dari mati. Yaitu. Tidak akan bisa bersujud lagi. Demikian akhlak seorang hamba dikisahkan oleh para ulama kita.

Sujud. Adalah amalan para kekasih Allah. Para wali Allah. Bahkan dengan segala pencapaian dan ketinggian derajatnya, para wali itu mengembalikan segala kemuliaan dan kemasyhuran kepada pemilik sejatinya, sebab tidak ada ilah yang mutlak kuasanya selain Allah. Dan pada saat itulah seorang juara yang menghamba tidak lagi terikat oleh dunianya.

“This was my last fight…” demikian lirih sang Khabib. “Saya tidak bertarung lagi”. Tidak ada hal lain yang perlu dibuktikannya kepada manusia. Karena semua pencapainnya. Dan pencapaian kita. Pada hakekatnya adalah pemberian Allah semata. Makanya, Rasulullah mengajari kita tentang makna sujud syukur. Yaitu sujudnya para juara, yang menghamba kepada ilahnya.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *