Kekerasan seksual terhadap anak, dalam bentuk apa pun, adalah luka paling dalam yang bisa menimpa generasi penerus bangsa. Ia bukan hanya meninggalkan trauma seumur hidup bagi korban, tetapi juga menyingkap rapuhnya sistem perlindungan anak di negeri ini. Ironisnya, di tengah maraknya kampanye perlindungan anak, kasus sodomi masih terus terjadi, bahkan dilakukan oleh sesama anak, yang seharusnya sama-sama berada di ruang aman untuk tumbuh dan belajar.
Hancurnya Generasi Kembali Terjadi
Potret suram itu tampak jelas di Mataram, Ketua LPA Mataram Joko Jumadi mengungkapkan kasus percobaan sodomi sesama jenis itu terungkap dari laporan pihak sekolah ke LPA Mataram. Korban dan pelaku merupakan siswa SD berusia sekitar 10-11 tahun.Selain di Mataram, LPA juga menemukan kasus percobaan sodomi di Kabupaten Lombok Barat. Pelaku dan korbansama-sama anak-anak, berusia 9 tahun dan 5 tahun. (Detik.com,13 Agustus 2025)
Kasus percobaan sodomi yang melibatkan anak SD ditangani Lembaga Perlindungan Anak (LPA) dengan fokus pada pemulihan psikologis korban dan pelaku tanpa melibatkan jalur hukum, karena keduanya masih dibawah umur. Tindakan ini diduga terkait syarat masuk ke sebuah geng anak-anak, sehingga LPA berencana memanggil sembilan anggota kelompok tersebut untuk asesmen lebih lanjut. Pendekatan serupa juga diterapkan pada kasus serupa di Lombok Barat, dengan penanganan difokuskan pada pendampingan psikis jangka panjang guna memutus trauma dan mencegah pengulangan kejadian. (RadarLombok, 13 Agustus 2025)
Ketika Sekularisme Membiarkan Anak Terjerat Kekerasan Seksual
Sistem sekuler yang berlandaskan pada kebebasan sering kali menimbulkan ruang abu-abu dalam melihat kekerasan seksual pada anak. Kebebasan yang tidak dibatasi oleh nilai dan aturan yang tegas membuat akses terhadap pornografi, perilaku menyimpang, hingga budaya geng di kalangan anak-anak tumbuh tanpa kendali. Akibatnya, anak-anak yang seharusnya dilindungi justru terpapar informasi dan perilaku yang justru menyimpang. Kasus sodomi di Mataram dan Lombok Barat hanyalah satu dari sekian banyak contoh yang menunjukkan betapa lemahnya kontrol sosial dan negara dalam menutup celah tersebut.
Negara seakan tertidur ketika kasus demi kasus kekerasan seksual anak terus terulang. Dari kasus pencabulan anak di berbagai daerah, eksploitasi seksual berbasis online, hingga praktik sodomi di kalangan pelajar, semua itu menunjukkan bahwa regulasi hukum dan aparat penegak hukum belum sepenuhnya bekerja melindungi korban. Alih-alih memberi efek jera, banyak kasus justru berhenti pada “penyelesaian kekeluargaan” yang menyingkirkan hak anak untuk mendapatkan keadilan. Situasi ini mencerminkan bahwa negara belum sungguh-sungguh menjalankan perannya sebagai pelindung generasi.
Padahal, anak adalah aset bangsa yang menentukan masa depan bangsa. Jika negara membiarkan kekerasan seksual terjadi tanpa penanganan serius, maka yang dipertaruhkan bukan hanya keselamatan individu korban, tetapi juga kualitas generasi yang akan datang. Sudah banyak kasus sebelumnya yang memperlihatkan betapa trauma berkepanjangan dapat menghancurkan potensi anak.
Islam Hadir dengan Solusi Hakiki
Berbeda dengan sistem sekuler yang longgar dan membiarkan kebebasan tanpa batas, Islam menata perilaku individu melalui aturan syariat yang jelas. Setiap perilaku manusia diatur berdasarkan halal dan haram, sehingga anak-anak sejak dini dibentuk dengan akidah yang kuat dan diarahkan untuk tumbuh dalam lingkungan yang bersih dari perilaku menyimpang. Dengan cara ini, benteng moral tidak hanya dibangun di level keluarga, tetapi juga ditegakkan dalam masyarakat secara menyeluruh.
Selain pembinaan individu, negara berperan aktif menutup semua celah yang bisa memicu perilaku menyimpang. Pornografi, pergaulan bebas, dan budaya hedonistik dilarang beredar dalam sistem Islam. Media diarahkan untuk mendidik, bukan menjadi ruang eksploitasi syahwat. Dengan kebijakan yang tegas ini, anak-anak tidak akan mudah terpapar konten merusak yang mendorong terjadinya kekerasan seksual, termasuk praktik sodomi yang kini marak bahkan di kalangan pelajar.
Islam juga memastikan adanya sanksi hukum yang tegas dan memberi efek jera bagi pelaku. Berbeda dengan sistem sekuler yang sering kali menyelesaikan kasus secara kekeluargaan atau menoleransi dengan alasan usia, syariat Islam menetapkan hukuman setimpal untuk menjaga kehormatan dan keamanan masyarakat. Penerapan hukum hudud dan ta’zir tidak hanya menegakkan keadilan bagi korban, tetapi juga menjadi pencegah efektif agar kasus serupa tidak terulang. Dengan demikian, perlindungan anak bukan hanya retorika, melainkan nyata terasa dalam kehidupan.
Islam menekankan pentingnya pendidikan akhlak sejak dini. Anak tidak hanya dibekali pengetahuan intelektual, tetapi juga ditanamkan kesadaran bahwa setiap perbuatannya diawasi oleh Allah. Pendidikan berbasis iman ini melahirkan generasi yang takut berbuat maksiat bukan hanya karena hukum negara, tetapi juga karena kesadaran spiritual. Lingkungan keluarga, sekolah, hingga masyarakat akan dibangun dalam bingkai nilai Islam yang saling menguatkan dalam mencegah penyimpangan.
Negara Islam (Khilafah) membangun sistem sosial yang berfungsi sebagai penjaga. Semua ini membuat masyarakat terlindungi dari budaya perilaku menyimpang. Dengan demikian, Islam bukan sekadar alternatif, tetapi satu-satunya solusi yang mampu menghentikan maraknya sodomi dan segala bentuk kekerasan seksual anak hingga ke akarnya.