Indonesia kembali diguncang kabar duka dari dunia pendidikan. Dua anak sekolah di Jawa Barat ditemukan meninggal dunia, diduga akibat bunuh diri. Kabar ini bukan hanya menambah deretan angka tragis, tetapi juga menorehkan luka mendalam di hati masyarakat. Apa yang sebenarnya sedang terjadi pada generasi muda kita sekarang ini? Mengapa anak-anak yang seharusnya menjadi harapan bangsa justru kehilangan harapan untuk hidup?
Data dari Kementerian Kesehatan yang disampaikan oleh Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono pada 30 Oktober 2025 menunjukkan fakta mencengangkan yaitu lebih dari dua juta anak Indonesia mengalami berbagai bentuk gangguan mental. Angka ini bukan sekadar statistik melainkan ia adalah potret suram dari sistem kehidupan yang kita jalani hari ini sistem yang gagal membentuk manusia berkepribadian tangguh, beriman, dan bertaqwa.
Akar Masalah adalah Sistem Pendidikan yang Kehilangan Ruh
Banyak pihak menuding tekanan akademik, perundungan, atau pengaruh media sosial yang menjadi penyebab meningkatnya angka bunuh diri di kalangan pelajar. Namun, jika kita menelusuri lebih dalam lagi, akar permasalahan ini jauh lebih kompleks yaitu sistem pendidikan sekuler yang memisahkan nilai moral dan spiritual dari proses pembentukan karakter para siswa.
Sistem pendidikan sekuler menitikberatkan pada pencapaian akademik dan kompetisi, bukan pada pembentukan akhlak dan kepribadian siswa. Anak-anak didorong untuk berprestasi, bersaing, dan menjadi “yang terbaik”, namun jarang dibimbing untuk memahami makna hidup, tujuan keberadaan mereka, dan siapa sesungguhnya Sang Pencipta yang memberi kehidupan di dunia ini.
Dalam paradigma sekuler, manusia diajarkan bahwa kesuksesan diukur dari nilai ujian, popularitas, dan karier. Akibatnya, ketika mereka gagal mencapai standar duniawi itu, mereka merasa hidupnya tidak berarti. Di titik inilah kehampaan spiritual mengambil alih, membuat jiwa-jiwa muda menjadi rapuh dan mudah putus asa.
Lemahnya Kepribadian dan Krisis Identitas
Salah satu yang menjadikan faktor penting di balik meningkatnya kasus bunuh diri adalah kerapuhan kepribadian. Remaja kita tumbuh di tengah arus deras budaya global yang sering kali bertentangan dengan nilai-nilai moral,bertentangan dengan nilai nilai Islam. Media sosial menampilkan kehidupan palsu yang penuh glamor dan kebahagiaan semu. Anak-anak yang belum matang emosinya mudah membandingkan diri, merasa rendah diri, bahkan kehilangan arah.
Kerapuhan mental ini diperparah dengan minimnya pendidikan agama yang menanamkan akidah kuat. Agama sering kali hanya diajarkan sebatas ritual, bukan sebagai panduan hidup yang menyeluruh. Padahal, Islam memiliki sistem pendidikan yang mampu membentuk kepribadian kokoh pribadi yang berpikir dan bersikap berdasarkan iman, bukan sekadar emosi atau tekanan sosial.
Pentingnya Pendidikan Islam sebagai Solusi Hakiki
Islam bukan hanya agama yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, tetapi juga sistem kehidupan yang mengatur seluruh aspek, termasuk pendidikan. Tujuan pendidikan dalam Islam adalah membentuk kepribadian Islam (syakhsiyah Islamiyah)yakni pola pikir dan pola sikap yang berpijak pada akidah Islam. Dengan landasan ini, anak dididik untuk memahami bahwa hidup adalah amanah, bahwa setiap ujian memiliki makna, dan bahwa kesulitan adalah bagian dari perjalanan menuju ridha Allah.
Pendidikan Islam tidak hanya menanamkan ilmu pengetahuan, tetapi juga menumbuhkan kekuatan iman dan ketahanan jiwa. Anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan pendidikan Islam memahami bahwa hidup ini tidak selalu mudah, namun selalu memiliki tujuan. Mereka belajar menghadapi masalah dengan sabar, bertawakal, dan mencari solusi sesuai syariat, bukan dengan melarikan diri dari kehidupan.
Selain itu, Islam memandang keluarga sebagai pondasi utama pembentukan kepribadian. Orang tua memiliki tanggung jawab besar dalam mendidik anak, bukan sekadar menyerahkan semuanya kepada sekolah.Pendidikan Islam mendorong terwujudnya keluarga harmonis, saling mencintai, dan saling menguatkan lingkungan pertama yang memberikan rasa aman dan kasih sayang bagi anak.
Media Sosial dan Krisis Makna Hidup
Faktor lain yang tidak bisa diabaikan adalah pengaruh media sosial. Platform digital saat ini sering kali menjadi “guru” baru bagi anak-anak kita, tetapi tanpa kontrol nilai. Ketika mereka merasa tidak diterima atau tidak sempurna, mereka mudah mencari pelarian di dunia maya. Di sana, banyak konten justru memperkuat pikiran negatif, bahkan menormalisasi bunuh diri sebagai jalan keluar dari penderitaan.
Islam menawarkan solusi yang jauh lebih dalam. Dalam Islam, jiwa manusia memiliki nilai yang sangat tinggi. Allah berfirman bahwa membunuh satu jiwa sama saja dengan membunuh seluruh manusia (QS. Al-Maidah: 32). Maka, menjaga kehidupan adalah kewajiban suci yang harus dijaga oleh individu, keluarga, dan negara.
Menata Ulang Paradigma Pendidikan dan Kehidupan
Jika kita ingin menghentikan gelombang krisis mental dan bunuh diri di kalangan pelajar, kita tidak cukup hanya menambah layanan konseling atau pemeriksaan psikologis. Solusi itu penting, tetapi hanya menyentuh permukaan. Yang perlu kita lakukan adalah menata ulang paradigma pendidikan kita mengembalikan nilai-nilai spiritual sebagai dasar pembentukan karakter.
Kurikulum pendidikan Islam (termasuk konsep khilafah pendidikan) menempatkan iman dan akhlak sebagai inti dari seluruh mata pelajaran. Ilmu tidak diajarkan untuk mengejar materi semata, melainkan untuk mengenal Allah, memahami ciptaan-Nya, dan berkontribusi pada kebaikan umat manusia. Dengan paradigma ini, anak-anak tumbuh bukan hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga kuat secara spiritual dan emosional.
Saatnya Kembali ke Pendidikan Berbasis Akidah
Tragedi demi tragedi bunuh diri di kalangan pelajar seharusnya menggugah kesadaran kita bersama. Ini bukan sekadar kasus individu, tetapi refleksi dari sistem yang rusak sistem yang memisahkan manusia dari Tuhannya, menjauhkan sekolah dari nilai-nilai spiritual, dan menjauhkan ilmu dari tujuan penciptaan manusia.
Sudah saatnya kita berani mengakui bahwa sistem pendidikan sekuler telah gagal mencetak generasi yang bahagia dan tangguh. Solusi hakikinya hanya dapat ditemukan dengan mengembalikan pendidikan kepada nilai-nilai Islam, di mana iman menjadi pondasi, ilmu menjadi jalan, dan akhlak menjadi buahnya.Dengan cara itu, kita tidak hanya menyelamatkan anak anak dari keputusasaan, tetapi juga menyiapkan generasi yang siap menghadapi kehidupan dengan hati yang tenang, pikiran yang jernih, dan jiwa yang penuh harapan karena mereka tahu hidup ini milik Allah, dan hanya kepada-Nya tempat kembali.
