Bantahan terhadap Asumsi Sesat Mustahilnya Kebangkitan

Ada 6 rukun iman, sebagaimana kita ketahui bersama, yang wajib kita imani dan yakini. Iman kepada hari akhir adalah salah satunya, yang tidak sesimpel dan sesederhana ketika kita sekadar mengatakan, “Saya beriman kepada hari akhir”; atau yang senada dengannya dan selesai, lalu kita sudah beriman kepada hari akhir. Tidak, tidak seperti itu. Hari akhir yang wajib kita imani mencakup 3 hal, yang artinya ketiga-tiganya juga wajib diimani tanpa pengecualian,

Pertama: Iman kepada kebangkitan kembali setelah kematian dan dikumpulkannya seluruh manusia,

Kedua: Iman kepada hisab (perhitungan) amal dan pembalasan, dan

Ketiga: Iman kepada surga dan neraka yang abadi.

Semua manusia akan diwafatkan oleh Allah. Kemudian ketika kiamat telah dimulai, setelah seluruh dunia dihancurkan, mereka semua akan dibangkitkan kembali melalui tiupan Sangkakala yang kedua di satu tempat mereka semua dikumpulkan menghadap Rabbul ‘Alamin dalam keadaan tidak beralas kaki sama sekali, tidak berpakaian sehelai kain pun, juga tidak berkhitan.

Allah Ta’ala mengabarkan dalam firman-Nya,

ثُمَّ إِنَّكُم بَعْدَ ذَٰلِكَ لَمَيِّتُونَ

ثُمَّ إِنَّكُمْ يَوْمَ ٱلْقِيَـٰمَةِ تُبْعَثُونَ

Kemudian setelah itu kamu pasti akan mati. Kemudian sungguh kamu akan dibangkitkan (dari kuburmu) pada hari kiamat.” (QS. Al-Mu’minun: 15-16)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga telah memberitakan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Ummul Mu’minin Aisyah radhiyallahu ‘anha,

يُحْشَرُ الناسُ يومَ القيامةِ حُفاةً عُراةً غُرْلًا

Manusia akan dikumpulkan pada hari kiamat dalam keadaan tidak beralas kaki, tidak berpakaian, dan tidak berkhitan.” (HR. Bukhari no. 6527 dan Muslim no. 2859 dan disahihkan oleh Albani dalam “Shahihul Jami’”)

Suatu hal yang ironi, pemikiran-pemikiran sesat tidak kunjung berhenti menghantui keimanan umat ini. Terlebih lagi semakin ke sini kaum orientalis semakin gencar untuk menghancurkan umat Islam dalam berbagai aspek menggunakan banyak cara. Salah satunya adalah asumsi dan klaim tidak berdasar bahwa kebangkitan setelah kematian adalah hal yang mustahil.

Banyak sekali keyakinan, kelompok, ataupun aliran yang meragukan bahkan mendustakan dan tidak percaya bahwa manusia seluruhnya akan dibangkitkan setelah mati untuk dihisab amal perbuatannya. Dalih mereka sangat beragam yang tetap saja sama sekali tidak mengubah ketetapan dan kebenaran mutlak bahwa manusia pada akhirnya akan dibangkitkan kembali setelah kematiannya.

Pemikiran sesat itu tentu saja dapat disanggah dan dibantah dengan mudah. Setidaknya ada tiga bantahan yang dapat kita gunakan untuk menyanggah pemikiran sesat tersebut: bantahan secara syariat, bantahan secara persepsi-realitas, dan bantahan secara logika.

Bantahan secara syariat

Seorang muslim tentu saja sudah selayaknya setiap kali dihadapkan pada suatu permasalahan, maka pertama kali yang dirujuk adalah kepada dalil-dalil nash, baik itu dari Al-Qur’an ataupun As-Sunnah (hadis), juga kesepakatan para ulama sebagai ijma’ pun dengan qiyas.

Allah sudah memprediksi bahwa akan ada saja orang-orang yang tidak percaya kebangkitan setelah kematian. Mereka tidak percaya bahwa mereka akan dibangkitkan (jelas orang yang seperti ini sudah kafir) dan secara tegas dan jelas Allah menyangkal ketidakpercayaan mereka itu,

زَعَمَ ٱلَّذِينَ كَفَرُوٓا۟ أَن لَّن يُبْعَثُوا۟ ۚ قُلْ بَلَىٰ وَرَبِّى لَتُبْعَثُنَّ ثُمَّ لَتُنَبَّؤُنَّ بِمَا عَمِلْتُمْ ۚ وَذَٰلِكَ عَلَى ٱللَّهِ يَسِيرٌۭ

Orang-orang kafir menganggap bahwa mereka tidak akan dibangkitkan. Katakanlah (Muhammad), ‘Tidak, bukan seperti itu, demi Tuhanku, kamu akan dibangkitkan kemudian diberitahukan semua yang telah kamu kerjakan.’ Dan yang demikian itu mudah bagi Allah.” (QS. At-Tagabun: 7)

Senada dengan itu, dalam firman-Nya yang lain juga, Allah memberikan sanggahan tegas juga,

وَأَقْسَمُوا۟ بِٱللَّهِ جَهْدَ أَيْمَـٰنِهِمْ ۙ لَا يَبْعَثُ ٱللَّهُ مَن يَمُوتُ ۚ بَلَىٰ وَعْدًا عَلَيْهِ حَقًّۭا وَلَـٰكِنَّ أَكْثَرَ ٱلنَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ

Dan mereka bersumpah atas (nama) Allah dengan sumpah yang sungguh-sungguh, ‘Allah tidak akan membangkitkan orang yang mati.’ Tidak demikian (pasti Allah akan membangkitkannya), sebagai suatu janji yang benar dari-Nya, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. An-Nahl: 38)

Muslim sejati seharusnya mencukupkan dirinya dengan dalil yang ada dan tidak mempertanyakan lebih lanjut. Karena baginya, dalil nash atau dalil naql itu di atas dalil dan dalih lainnya. Akan tetapi, pada kenyataannya tidak semua orang bisa seperti itu, terlebih orang-orang selain muslim, maka dari itu dua hadir dua bantahan lain selain bantahan secara syariat/dalil nash.

Baca juga: Tiga Keadaan Orang Beriman Ketika Masuk Surga

Bantahan secara persepsi-realitas

Bantahan ini memiliki pendekatan yang berkaitan dengan persepsi dan realitas yang dapat dirasakan oleh satu atau lebih indera manusia melalui fenomena langsung.

Untuk membantah anggapan sesat bahwa kebangkitan setelah kematian adalah sebuah kemustahilan dan tidak mungkin, maka marilah kita berefleksi dari kilas balik kisah-kisah kejadian silam yang telah terjadi dan benar adanya kejadian tersebut. Kejadian-kejadian ini telah disebutkan dalam surah terpanjang di Al-Qur’an, yaitu surah Al-Baqarah. Ada 5 kejadian di mana Allah memperlihatkan kekuasaannya menghidupkan kembali yang telah mati yang dikisahkan yang  seharusnya sudah lebih dari cukup untuk membantah, yaitu:

Pertama: Kejadian pada kaum Nabi Musa ‘alaihis salam. Ketika mereka menantang ingin melihat Allah secara langsung dengan mata telanjang[1], kemudian Allah mengazab mereka dengan halilintar yang menyambar dari langit yang membunuh mereka[2] dan mereka merasakan dan menyaksikan hal itu secara jelas. Kemudian Nabi Musa ‘alaihis salam menangisi nasib kaumnya tersebut, dan setelah Allah mewahyukan beberapa hal, Allah hidupkan kembali mereka semua yang sebelumnya telah mati hangus tersambar halilintar[3]. Hal ini dijelaskan dalam surah Al-Baqarah ayat 55-56.

Kedua: Masih pada kaum Nabi Musa ‘alaihis salam, di mana mereka membunuh seseorang[4] dan kemudian malah saling menyalahkan dan menuduh satu sama lain, juga sibuk membuat alibi masing-masing. Nabi Musa, dengan wahyu dan petunjuk Allah, lantas meminta kaumnya untuk mencari seekor sapi dengan spesifikasi tertentu yang pada akhirnya mereka temukan, meski dengan segala lika-likunya.

Setelah sapi itu ditemukan dan disembelih, Allah mewahyukan kepada Nabi Musa agar memukulkan bagian dari sapi[5] itu ke korban. Dengan kekuasaannya, Allah kemudian menghidupkan mayat korban untuk setelah itu ditanya siapa yang membunuhnya dan mayat korban yang dihidupkan itu menceritakan siapa yang membunuhnya. Kemudian setelah itu Allah wafatkan kembali mayat korban yang dihidupkan itu. Kisah ini termaktub dalam surah Al-Baqarah ayat 72-73.

Ketiga: Terdapat juga kisah “Orang-orang yang keluar dari negerinya untuk menghindari kematian”. Dikisahkan bahwa di suatu kota yang bernama Dawardan yang terletak di sebelah Wasith[6], tersebar suatu wabah mematikan yang bernama Tha’un[7]. Untuk menghindar dari kematian, ribuan orang[8] keluar dari kota itu sebagai bentuk penyelamatan diri. Singkat kisah, mereka kabur sampai ke suatu lembah yang luas, kemudian diutus malaikat dan menempati bagian atas dan bawah lembah yang ditugaskan oleh Allah untuk mewafatkan ribuan orang yang pergi untuk menyelamatkan diri itu[9]. Mereka pun kemudian mati. Bahkan, dengan tindakan preventif, takdir Allah tetap tidak terhindarkan[10].

Setelah berselang beberapa lama, seorang nabi dari Bani Israil[11] melewati lembah itu dan dengan wahyu Allah ia menyeru memerintahkan tulang belulang mereka untuk menyatu. Kemudian setelah itu, mulai terbungkus dengan daging, saraf-saraf, dan kulit, kemudian roh-roh kembali memasuki jasad-jasad tersebut dan mereka semua pun kembali hidup[12]. Kejadian ini dikisahkan dalam surah Al-Baqarah ayat 243.

Keempat: Dikisahkan pula bahwa seseorang[13] melewati suatu kota yang menurut riwayat paling masyhur adalah Baitul Maqdis[14] pasca dihancurkan oleh Bukhtanashar[15], di mana ketika itu keadaannya sangatlah hancur lebur, bangunan menjadi puing-puing reruntuhan, atap-atap roboh, dan kota itu terlihat sudah tidak berbentuk seakan-akan tidak pernah dan tidak mungkin ditinggali oleh manusia.

Orang itu kemudian mempertanyakan bagaimana Allah bisa menghidupkan kembali kota yang sudah hancur lebur dan tidak berbentuk itu. Maka, sebagai jawaban, Allah pun mematikannya selama seratus tahun untuk kemudian dihidupkan kembali. Sementara itu, ia tidak sadar bahwa ia sudah dibuat mati selama seratus tahun dan mengiranya hanya tertidur selama sehari atau beberapa hari saja, sampai ia melihat keledainya yang sudah menjadi tulang belulang kembali tersusun lalu dibungkus oleh daging dan kulit, dan kembali hidup. Kisah ini diceritakan oleh Allah dalam surah Al-Baqarah ayat 259.

Kelima: Kejadian kebangkitan kembali setelah kematian juga disaksikan langsung oleh Nabi Ibrahim ‘alaihis salam. Ketika itu, ia meminta kepada Allah agar memperlihatkan kepadanya bagaimana Allah menghidupkan yang telah mati. Permintaan ini bukanlah karena Nabi Ibrahim tidak yakin, ragu, atau semisalnya terhadap kekuasaan Allah, melainkan ia hendak meng-upgrade level keyakinannya terhadap kekuasaan Allah dalam menghidupkan yang telah mati dari ‘ilmul yaqin ke level ‘ainul yaqin[16][17].

Allah kemudian menanggapi Nabi Ibrahim dengan memintanya mengambil 4 ekor burung[18], memotong-motongnya sampai menjadi beberapa bagian, mencabuti bulu-bulunya, mencampurkan satu sama lain bagian-bagian burung yang sudah dipotong-potong, lantas secara acak dan terpisah menaruh tiap satu potongan di atas satu gunung (ada pula yang mengatakan di taruh di atas 4 gunung). Sementara itu, kepala keempat burung dipegang oleh Nabi Ibrahim.

Setelah itu, Nabi Ibrahim dengan perintah Allah memanggil 4 burung tersebut. Dengan kekuasaan Allah, burung-burung yang sudah dicincang dan dipotong kembali menyatu, daging dan darah menyulam dan membentuk tubuh, kemudian bulu-bulu beterbangan dan membungkus tubuh yang sudah kembali, lantas menghampiri Nabi Ibrahim. Burung-burung itu hendak mengambil kembali kepalanya. Ketika disodorkan pada mereka yang bukan kepalanya, mereka menolak; dan ketika diberikan kepala miliknya, tubuhnya akhirnya menyatu dengan kepala tersebut dan kembali hidup dan terbang seperti sediakala.[19] Kisah ini diceritakan oleh Allah dalam surah Al-Baqarah ayat 260.

Lima kisah kejadian nyata di atas seharusnya sudah sangat menjelaskan bahwa Allah memang mampu menghidupkan kembali yang telah mati, bahkan bukan hanya sekadar mati, tetapi juga yang telah mati, membusuk tersisa tulang belulang, sudah dicincang dan dipotong, sudah mati dalam waktu lama, dan sebagainya. Tentu saja, kisah-kisah ini hanya sebagian kecil bukti dari kuasa Allah menghidupkan kembali yang telah mati. Selain kisah-kisah di atas, masih ada pula kejadian lain di mana Allah menghidupkan yang telah mati seperti yang Dia mukjizatkan kepada Nabi Isa ‘alaihis salam, atau kejadian-kejadian lain yang dikisahkan dalam berbagai asar.

Bantahan secara logika

Tidak dapat dipungkiri bahwa tetap saja ada orang yang tidak percaya atau masih ragu pada bantahan dengan bukti yang diberikan entah secara syariat maupun dari kisah-kisah kejadian nyata yang terjadi di masa lampau. Bantahan secara logika dapat digunakan untuk orang-orang seperti itu, meskipun tidak selalu, karena tidak ada salahnya menggunakan bukti dari logika untuk memperkuat keyakinan yang telah ada, seperti pada kisah Nabi Ibrahim.

Sekurang-kurangnya ada 2 bantahan logis bagi asumsi sesat mustahilnya kebangkitan hidup kembali setelah kematian,

Yang pertama, perlu kita ketahui kembali bahwa Allah telah menciptakan kita, seluruh manusia, jin dan malaikat, seluruh dunia dan seisinya, dan sebagainya. Dan semua itu Allah ciptakan dari ketiadaan sama sekali sebelumnya, dari yang sebelumnya bahkan tidak ada dan tidak pernah ada, Allah ciptakan dan adakan itu. Lantas, mengapa Allah harus tidak bisa menciptakannya ulang, menghidupkan ulang, menyusun ulang, dari ada kembali menjadi ada? Itu bahkan jauh lebih mudah bagi Allah, yang dengan nalar kita yang pendek begini, “Jika Allah bisa menciptakan sesuatu dari ketiadaan sebelumnya, maka Dia lebih dari mampu untuk mengadakan kembali sesuatu yang sudah pernah ada.”

Mari kita perhatikan bersama firman Allah berikut,

وَهُوَ ٱلَّذِى يَبْدَؤُا۟ ٱلْخَلْقَ ثُمَّ يُعِيدُهُۥ وَهُوَ أَهْوَنُ عَلَيْهِ ۚ وَلَهُ ٱلْمَثَلُ ٱلْأَعْلَىٰ فِى ٱلسَّمَـٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ ۚ وَهُوَ ٱلْعَزِيزُ ٱلْحَكِيمُ

Dan Dialah yang memulai penciptaan, kemudian mengulanginya kembali, dan itu lebih mudah bagi-Nya. Dia memiliki sifat yang Mahatinggi di langit dan di bumi. Dan Dialah Yang Mahaperkasa, Mahabijaksana.” (QS. Ar-Rum: 27)

Kemudian yang kedua, pernahkah kita melihat sebuah dataran, tanah yang tandus, kering, tidak ada tumbuh-tumbuhan yang hidup di sana? Padang tandus yang hanya dengan melihatnya sekali saja, kita langsung tebersit dan terpikir akan kemustahilan sebuah tumbuhan, meski hanya rumput kecil bisa tumbuh dan hidup di sana.

Tanah yang seperti itu, yang sudah tidak diharapkan lagi bisa ditumbuhi tanaman dan tumbuhan apa pun, Allah sangat bisa menghidupkan kembali tanah tandus tersebut. Membuat tumbuhan dan tanaman bisa tumbuh di sana, bahkan membuatnya menghijau, seakan-akan tidak pernah sama sekali menjadi padang tandus. Dan itu terjadi di banyak tempat di bumi ini.

Hal ini menunjukan akan mampunya Allah menghidupkan kembali tanah yang tandus dan mati untuk kemudian menghijau. Pun sama halnya dengan manusia-manusia yang sudah mati dan untuk kemudian dibangkitkan di hari akhir kelak. Allah Ta’ala berfirman,

وَمِنْ ءَايَـٰتِهِۦٓ أَنَّكَ تَرَى ٱلْأَرْضَ خَـٰشِعَةًۭ فَإِذَآ أَنزَلْنَا عَلَيْهَا ٱلْمَآءَ ٱهْتَزَّتْ وَرَبَتْ ۚ إِنَّ ٱلَّذِىٓ أَحْيَاهَا لَمُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰٓ ۚ إِنَّهُۥ عَلَىٰ كُلِّ شَىْءٍۢ قَدِير

Dan sebagian dari tanda-tanda (kebesaran)-Nya, engkau melihat bumi itu kering dan tandus, tetapi apabila Kami turunkan hujan di atasnya, niscaya ia bergerak dan subur. Sesungguhnya (Allah) yang menghidupkannya pasti dapat menghidupkan yang mati. Sesungguhnya Dia Mahakuasa atas segala sesuatu.” (QS. Fusshilat: 39)[20]

Demikianlah beberapa bukti, penjelasan, serta penjabaran akan pastinya kebangkitan setelah kematian, dan Allah Mahamampu untuk melakukannya. Semoga yang sedikit ini dapat menjawab, mencukupi, dan menjadi penjelas bagi yang masih memiliki keraguan akan hal ini di dalam hatinya. Juga semoga dapat menjadi penguat keimanan yang telah ada di hati-hati kita, sehingga kita tidak dengan mudah terkena syubhat yang mana syubhat itu sendiri adalah termasuk dari bisikan dan tipu daya setan untuk menyesatkan umat manusia dari jalan yang benar.

Wallahu a’lam bis-showab. Allahumma shalli wasallim ‘ala Muhammad.

Baca juga: Pengaruh Iman kepada Hari Akhir pada Akidah Seorang Muslim

***

Penulis: Abdurrahman Waridi Sarpad

Artikel: Muslim.or.id

 

Catatan kaki:

[1] Ibnu Juraij, Ibrahim bin Thuhman dari Ibnu Abbas, Qatadah, dan Rabi’ bin Anas dalam Tafsir Ibnu Katsir, 1: 166.

[2] Ada yang mengartikannya dengan “kematian secara langsung”, juga “api yang turun membara dari langit” dalam Tafsir Al-Baghawi, 1: 97.

[3] Tafsir Ibnu Katsir, 1: 166.

[4] Disebutkan bahwa nama korban adalah “‘Amiel”, tetapi mengetahuinya pun tidak begitu bermanfaat dan tidak mengetahuinya pun tidak akan berbahaya. Tafsir Al-Baghawi, 1: 108.

[5] Ada beberapa pendapat para mufassir mengenai “bagian dari sapi” yang dimaksud. Di antaranya:

Pertama: Ibnu Abbas dan sebagian besar mufassir mengatakan, “… dengan tulang di samping tulang rawan, dan di situ pula konon korban dilukai hingga terbunuh.”

Kedua: Ad-Dhahhak mengatakan, “… dengan lidahnya.”

Ketiga: Al-Kalbi dan Ikrimah mengatakan, “… dengan paha kanannya.”

Keempat: Abdur Razzaq dari Ibnu Sirin dari Ubaidah mengatakan, “… dengan sebagian dagingnya.”

Kelima: Ma’mar dari Qatadah mengatakan, “… dengan daging pahanya.”

Keenam: Sebagian lainnya mengartikan dengan suatu bagian yang tidak disebutkan atau tidak spesifik. (Tafsir Ibnu Katsir, 1: 197, Tafsir Al-Baghawi, 1: 109)

[6] Diriwayatkan oleh Ibnu Hatim dari Ibnu Abbas, juga oleh As-Suddi dan Abu Shaleh. (Tafsir Ibnu Katsir, 1: 502)

[7] Tafsir Al-Baghawi, 1: 292.

[8] Para mufassir berbeda pendapat mengenai jumlah mereka. ‘Atha Al-Khurasani menyatakan sejumlah 3.000 orang. Wahab menyatakan sejumlah 4.000 orang. Muqatil dan Al-Kalbi menyatakan sejumlah 8.000 orang. Abu Rauq menyatakan sejumlah 10.000 orang. As-Suddi menyatakan sejumlah 30 sekian ribu orang. Ibnu Juraij menyatakan sejumlah 40.000 orang. ‘Atha bin Rabbah menyatakan sejumlah 70.000 orang.

Jumlah yang banyak ini merujuk pada kata “ألوف” yang dinarasikan ayat, yang mana kata tersebut adalah bentuk jamak banyak dari “ألف” (seribu), sementara bentuk jamak sedikitnya adalah “آلاف”. (Tafsir Al-Baghawi, 1: 293)

[9] Tafsir Ibnu Katsir, 1: 502.

[10] Tafsir As-Sa’di, hal. 106.

[11] Disebutkan bahwa namanya adalah “Hizqiel”. (Tafsir Ibnu Katsir, 1: 502)

[12] Tafsir Ibnu Katsir, 1: 502.

[13] Para mufassir berbeda pendapat tentang siapa orang yang dimaksud dalam kisah di dalam ayat. Qatadah, Ikrimah, dan Ad-Dhahhak menyatakan Uzair bin Syarkheya. Wahab bin Munabbih menyatakan Armiya bin Halqeya (cucu Nabi Harun ’alaihissalam). Mujahid berpendapat bahwa ia adalah seorang kafir yang mengingkari kebangkitan. Ibnu Abi Hatim menyatakan seseorang dari Bani Israil yang bernama Hizqiel bin Bawar. (Tafsir Ibnu Katsir, 1: 527, Tafsir Al-Baghawi, 1: 317)

Sementara As-Sa’di dalam Tafsir As-Sa’di (Taysir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 112) mengatakan bahwa ia adalah seseorang yang mengingkari kebangkitan dan bukan nabi ataupun orang saleh.

[14] Pendapat Wahab, Ikrimah, dan Qatadah. Sementara itu pendapat lainnya adalah,

Pertama: Ad-Dhahhak mengatakan, “Tanah suci”.

Kedua: Al-Kalbi mengatakan, “Sabirabad (sekarang suatu wilayah di Azerbaijan)”.

Ketiga: As-Suddi mengatakan, “Harqal (suatu wilayah di Suriah)”.

Keempat: Ada juga yang berpendapat itu adalah kota yang ditinggalkan oleh orang-orang yang beribu-ribu di kisah sebelumnya. (Tafsir Al-Baghawi, 1: 317)

[15] Tafsir Ibnu Katsir, 1: 527.

[16] Tafsir Ibnu Katsir, 1: 528.

[17] Tingkatan keyakinan menurut Ibnul Qayyim rahimahullah ada 3, dari yang terendah, yaitu:

Pertama: Ilmul yaqin

Kedua: Ainul yaqin

Ketiga: Haqqul yaqin. (Madarij As-Salikin, 2: 379)

[18] Meski tidak begitu penting merinci apa saja keempat burung tersebut, tetapi beberapa mufassir ada yang merincinya, terutama yang berpendapat 4 burung itu ada jenis burung yang berbeda-beda.

Ibnu Abbas mengatakan, “bangau, merak, ayam, dan merpati.” Adapun Mujahid dan Ikrimah mengatakan, “gagak, merak, ayam, dan merpati.” (Tafsir Ibnu Katsir, 1: 528)

[19] Tafsir Ibnu Katsir, 1: 529.

[20] Nubdzatun fi Al-Aqidah Al-Islamiyyah, karya Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *