Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa buka suara soal perbandingan kebijakannya dengan eks Menkeu Sri Mulyani dalam mengelola keuangan negara. Bagi Purbaya, semua kebijakan yang ia ambil sebagai Menkeu adalah bentuk perwujudannya dalam menjalankan kebijakan fiskal atau fiscal policy yang baik.
Perbedaan kebijakan antara Purbaya dan Sri Mulyani ini menjadi sorotan publik karena sangat berseberangan. Selama Sri Mulyani menjadi Menkeu, kebijakannya dinilai seringkali defensif atau cenderung bertahan saat mengelola keuangan negara. Sementara kebijakan Purbaya dinilai lebih agresif atau ofensif dalam mengelola keuangan negara.
Bahkan pola kerja Purbaya sebagai Menkeu ini juga diibaratkan bak strategi penyerangan dalam permainan sepak bola. Terutama saat Purbaya memutuskan untuk menyalurkan dana kas negara sebesar Rp 200 triliun ke bank himpunan bank-bank milik negara (Himbara). Kas negara sebesar Rp 200 triliun itu pun kini telah tersalurkan ke bank Himbara, di antaranya ke Bank BRI senilai Rp 55 triliun, Bank Mandiri Rp 55 triliun, Bank BNI senilai Rp 55 triliun, Bank BTN Rp 25 triliun, dan BSI sebesar Rp 10 triliun.
Dikeluarkannya sebagian kas negara dari bank central ini justru menjadi jurus Purbaya untuk memulihkan pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Purbaya menilai, seluruh uang negara yang tercantum dalam anggaran negara harus dihabiskan dalam jangka waktu yang telah ditentukan. Jika uang negara tersebut tidak berani dihabiskan, maka seharusnya sejak awal saja tidak usah direncanakan dalam anggaran. (Tribun online, 16/9/2025).
Bukan hal baru, dalam sistem Kapitalisme sudah menjadi rahasia umum bahwa yang menjadi target utama adalah menghabiskan anggaran sehingga terkadang banyak acara yang dibuat-buat hanya untuk menghabiskan anggaran. Dan tidak sedikit dari acara dalam rangka menghabiskan anggaran tersebut dipakai untuk kegiatan tidak berfaedah bahkan sarat flexing serta hedonisme. Rapat di hotel mewah atau tempat wisata adalah salah satunya.
Seharusnya yang menjadi target pencapaian adalah cara mendapatkan anggaran. Secara, dalam sistem Kapitalisme anggaran dibuat disaat dana belum pasti ada bahkan tingkat kepastiannya hanya beberapa persen saja. Itupun masih saja mengandalkan pajak dan utang.
Purbaya dalam sejumlah pernyataannya menegaskan akan tetap melanjutkan kebijakan fiskal yang telah diterapkan sebelumnya, menjaga stabilitas makro, dan mengoptimalkan pajak. Artinya, ia tidak menawarkan perubahan fundamental, hanya meneruskan pola lama. Tidak ada keberanian untuk keluar dari jebakan utang dan pajak.
Selama bertahun-tahun, kebijakan fiskal Indonesia selalu bersandar pada utang dan pajak. Anggaran belanja negara yang defisit ditutup dengan utang, sedangkan pendapatan negara terus bergantung pada pajak yang cakupannya makin luas. Pemerintah bahkan tidak segan menambah jenis pajak baru, dari PPN hingga pajak karbon, yang akhirnya membebani masyarakat.
Masalah utang bukan sekadar angka di atas kertas, melainkan beban yang terus menggerus anggaran negara. Alih-alih digunakan untuk meningkatkan layanan publik, sebagian besar belanja justru tersedot untuk cicilan dan bunga. Akibatnya, rakyat harus menanggung dampak nyata berupa layanan publik yang jauh dari memuaskan.
Dalam konsep rumah tangga dengan skala kecil saja ketika anggaran tidak ada, maka segala anggaran akan diefisienkan bahkan rencana yang sekiranya tidak urgen akan dibatalkan jika akibatnya akan lebih buruk terhadap keuangan keluarga apabila tetap dilaksanakan. Tahapan ini diambil setelah penentuan skala prioritas tentunya. Bukan dengan memaksakan mematuhi rencana tanpa mempedulikan anggaran apalagi malah berutang.
Apalagi dalam skala negara yang tentu lebih besar dan menyangkut hajat hidup orang banyak. Daripada rencana semula tetap dilakukan demi untuk menghabiskan anggaran, apa tidak sebaiknya lebih bijak lagi dalam pengelolaan keuangan?
Ketika ada dana kas, akan lebih baik dioptimalkan kemanfaatannya untuk sebanyak-banyaknya kesejahteraan masyarakat. Bukan disuntikkan untuk modal Bank meskipun itu dengan alasan Bank milik negara. Jika itu dilakukan, bukan kesejahteraan yang didapat tapi kesenjangan yang lebih kentara sebab tidak semua masyarakat merasakan manfaat dari Bank tersebut. Paling Bank memberikan manfaat kepada masyarakat adalah dengan memberikan pinjaman riba. Lalu siapa sebenarnya yang diuntungkan?
Yang ada masyarakat semakin terpuruk dalam jeratan utang riba seperti halnya negara yang juga kerepotan membayar sekedar bunga pinjaman dari Bank dunia. Jadilah negara dan masyarakat sama-sama terlibat ribawi dan itu telah dijelaskan dalam firman-Nya:
اَلَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ الرِّبٰوا لَا يَقُوْمُوْنَ اِلَّا كَمَا يَقُوْمُ الَّذِيْ يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطٰنُ مِنَ الْمَسِّ ۗ ذٰلِكَ بِاَ نَّهُمْ قَا لُوْۤا اِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبٰوا ۘ وَاَ حَلَّ اللّٰهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبٰوا ۗ فَمَنْ جَآءَهٗ مَوْعِظَةٌ مِّنْ رَّبِّهٖ فَا نْتَهٰى فَلَهٗ مَا سَلَفَ ۗ وَاَ مْرُهٗۤ اِلَى اللّٰهِ ۗ وَمَنْ عَا دَ فَاُ ولٰٓئِكَ اَصْحٰبُ النَّا رِ ۚ هُمْ فِيْهَا خٰلِدُوْنَ
“Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri, melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena gila. Yang demikian itu karena mereka berkata bahwa jual beli sama dengan riba. Padahal, Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba. Barang siapa mendapat peringatan dari Tuhannya, lalu dia berhenti, maka apa yang telah diperolehnya dahulu menjadi miliknya dan urusannya (terserah) kepada Allah. Barang siapa mengulangi, maka mereka itu penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al-Baqarah: 275).
Jelas, meski menteri berganti berkali-kali tidak akan menjadi solusi hakiki persoalan keuangan negara jika sistem yang digunakan masih sistem yang sama. Sebab dalam sistem kapitalisme, negara dikelola layaknya entitas ekonomi yang harus terus mempertahankan aliran dana agar dapat membiayai pengeluaran publik, infrastruktur, dan proyek pembangunan meskipun diambil dari pajak dan utang ribawi. Negara yang menganut sistem Kapitalisme tidak segan-segan memalak rakyat dengan berbagai pajak. Penguasanya pun dengan terang-terangan menentang Allah SWT. layaknya kemasukan setan karena gila kekuasaan.
Berbeda dengan sistem Islam. Islam menawarkan sistem keuangan negara yang independen dan berkeadilan. Islam menempatkan Baitul Mal sebagai lembaga yang mengelola harta umat sesuai ketentuan syariat. Pemasukan negara dalam Islam berasal dari pengelolaan sumber daya alam yang merupakan milik umum, dari kepemilikan negara seperti fai, kharaj, jizyah, serta dari zakat yang merupakan kewajiban ibadah. (An-Nabhani, 2002, Sistem Ekonomi dalam Islam).
Utang luar negeri yang mengikat tidak dikenal dalam sistem Islam karena setiap pinjaman yang memberatkan rakyat dan menimbulkan ketergantungan pada pihak asing dilarang. Sistem Islam menekankan kemandirian negara dalam pembiayaan, serta memanfaatkan sumber daya internal dan penerimaan syar’i sehingga negara tidak terjebak pada utang yang bisa mengekang kebijakan dan menimbulkan beban generasi mendatang.
Benar dalam Islam dikenal adanya semacam pajak yang disebut dharibah. Namun, dharibah ini bukan sumber utama penerimaan negara, melainkan mekanisme darurat ketika kas negara benar-benar kosong, itu pun hanya dibebankan kepada laki-laki muslim yang kaya saja, bukan seluruh rakyat.
Negara berkewajiban menjamin kesejahteraan rakyat, bukan justru membebani mereka dengan pajak atau menyerahkan nasib ekonomi kepada asing. Rasulullah Saw. bersabda, “Imam adalah pengurus dan ia bertanggung jawab atas rakyat yang ia urus.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Ketika kas negara benar-benar melimpah, maka akan digunakan untuk kemaslahatan umat, bukan memanipulasi laporan untuk sekedar menghabiskan anggaran. Pemimpin dalam sistem Islam faham betul bahwa apa-apa yang dilakukan dan diambil sebagai sebuah kebijakan, harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT. Maka kesia-siaan akan dihindarkan.
Pada saat kekhilafahan Umar bin Abdul Aziz, negara begitu sejahtera sehingga tidak ditemukan satupun dari rakyatnya yang berhak menerima zakat, bahkan ketika dicari orang yang berutang untuk dibayarkan utangnya juga tidak ditemukan. Ketika dicari pemuda yang kesulitan menikah karena tidak ada biaya untuk menikah, maka tidak ditemukan juga sebab para pemuda memiliki pekerjaan dengan upah yang sesuai dengan tingkat pekerjaannya, tidak didzolimi dan tidak mendzolimi. Begitupun dengan sekolah, rumah sakit, dan fasilitas umum juga tertata dengan baik dengan kualitas terbaik pada masanya.
Itulah sebabnya selama 13 abad Islam sebagai rahmatan Lil ‘alamin benar-benar terasa oleh semua, bukan hanya yang berada di Daulah Islam yang saat itu meliputi dua pertiga dunia melainkan di luar Daulah Islam. Mereka merindukan diurus dan diatur oleh sistem Islam. Tidakkah kita merindukannya juga?