Belum usai pilu hati atas kematian Raya, bayi kecil yang meninggal setelah keluar cacing dari seluruh tubuhnya. Bahkan cacing terdeteksi sampai ke otak. Kini Raya kedua menimpa bayi malang di Seluma, Bengkulu. Ia bernama Khaira Nur Sabrina.
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Seluma, Rudi Syawaludin mengatakan, kondisi pasien Khaira Nur Sabrina (1,8) cukup memprihatinkan. Selain bobot tubuhnya kecil dan tidak normal, balita ini juga didiagnosa mengalami penyakit paru-paru. Rudi juga menjelaskan, pihak Rumah Sakit Daerah Tais telah melakukan berbagai pemeriksaan pada pasien. Dari hasil pemeriksaan tubuh pasien, pasien mengalami anemia, leukosit tinggi, dan gula darah mencapai 270. Selain itu, dari hasil rontgen juga ditemukan larva di paru-paru pasien. Tak hanya itu, kakak pasien yakni Aprillia (4) ternyata juga didiagnosa mengidap penyakit cacingan. Kakaknya tersebut juga mendapat perawatan intensif di rumah sakit. (detikHealth, 17/9/2025).
Diberitakan sebelumnya, dinas terkait sudah melakukan pengecekan ke rumah pasien di Desa Sungai Petai. Mereka menemukan kondisi rumah yang tidak layak huni. Rumah hanya beralas tanah dan dinding papan sudah dalam kondisi rusak. Bahkan banyak kotoran ayam di sekitar rumah.
Sekali lagi dijelaskan, atau lebih kerasnya “ditegaskan!” bahwa kejadian ini memperlihatkan kesenjangan sosial, sanitasi buruk, serta sistem kesehatan yang belum sepenuhnya menjangkau kelompok rentan. Raya dan Khaira kecil hanyalah balita malang yang kemalangannya terekspos. Masih banyak Raya dan Khaira kecil, bahkan keluarga lainnya yang juga bernasib sama bahkan lebih buruk dari itu.
Sistem Kapitalisme terbukti gagal memberikan keselamatan bagi warganya. Inilah fakta nyata rusak dan buruknya sistem pelayanan kesehatan dan jaminan kehidupan dalam sistem kapitalisme yang diterapkan di seluruh dunia hari ini, termasuk tentunya di Indonesia.
Berbeda dengan sistem Islam. Islam memandang bahwa kesehatan adalah hak setiap rakyat, kebutuhan pokok masyarakat yang wajib dipenuhi langsung oleh negara. Segala upaya yang bisa mewujudkan kondisi sehat, yaitu sehat fisik, mental, dan kesehatan umum (lingkungan, tempat tinggal, sanitasi, dll.) telah diamanahkan oleh Islam kepada negara melalui kerja aparat dari level pusat (Khalifah) hingga daerah (hakim dan wali) dan unit pelaksana teknis kesehatan di lapangan.
Setiap aktivitas pelayanan kesehatan tidak dipandang sekadar untuk memenuhi kebutuhan, tetapi bernilai ibadah sehingga semua petugas bertindak amanah dan bertanggung jawab. Khilafah menyediakan semua sarana untuk pengobatan dan rehabilitasi, serta mengeluarkan dana untuk mengurusi pasien dan kebutuhan masyarakat agar penyakit tidak menyebar. Semua pasien diperlakukan sama, baik kaya ataupun miskin, memiliki dokumen atau tidak. Mereka berhak langsung ditangani tanpa syarat administrasi.
Upaya preventif dan kuratif berjalan bersama, bukan hanya mengobati, tetapi juga menjaga agar rakyat tidak jatuh sakit akibat buruknya sanitasi, gizi, dan lingkungan. Struktur pelayanan pun terorganisir dari pusat hingga desa sehingga kasus tidak pernah luput dari pantauan.
Terkait penanganan kasus semisal Raya dan Khaira dalam Khilafah, akan ada deteksi dini terhadap sanitasi rumah dan lingkungan. Jika ada keluarga tidak mampu, negara akan menyediakan rumah dengan sanitasi layak, air besih, dan menghilangkan faktor penyebaran cacing, bakteri, virus, dll. Untuk penanganan penyakitnya akan diberikan obat rutin gratis dengan pengawasan langsung dari institusi kesehatan daerah dan berkelanjutan.
Semua layanan kesehatan pasien akan ditanggung oleh kas negara (baitulmal). Tidak akan ditolak atau tertunda penanganannya hanya karena keluarga miskin. Begitu ada kasus luar biasa (cacing keluar dari tubuh), dokter segera melakukan investigasi epidemiologis, adakah kasus serupa di desa itu. Ahli kesehatan masyarakat akan dikirim untuk memeriksa lingkungan sekitar, seperti sekolah, rumah, dan tetangga agar wabah tidak meluas.
Dengan demikian, dalam Khilafah akan berjalan proses pelayanan kesehatan dengan pencegahan sistemis, pengobatan gratis, cepat, dan birokrasi sederhana. Negara pun bertanggung jawab atas nafkah keluarga agar mendapat sandang, pangan, papan, dan lingkungan hidup yang cukup, baik, dan sehat sehingga tidak ada fenomena kemiskinan ekstrem yang sistemis. Bahkan, akuntabilitas aparat pelaksana layanan berjalan ketat.
Melalui mekanisme tersebut, kasus tragis seperti Raya dan Khaira hampir mustahil terjadi. Kalaupun ada penyakit berat, anak akan mendapat layanan medis terbaik sejak awal, tanpa harus terbentur biaya, dokumen, atau keterlambatan birokrasi.
Sebab dalam sistem Islam seorang penguasa atau pemimpin adalah pelindung bagi rakyat dan orang-orang yang dipimpinnya. Ia bertanggung jawab atas rakyat yang dipimpinnya. Kelak ia akan dimintai pertanggungjawabannya pada Hari Kiamat atas amanah kepemimpinannya itu. Rasulullah saw. bersabda, “Imam adalah raa’in (penggembala) dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya.” (HR. Bukhari).
Rasulullah Saw. menggunakan kata “raa’in” (penggembala), bukan kata malik, sulthan, rais, imam dan sebagainya. Artinya, seorang pemimpin adalah orang yang berkewajiban untuk mengayomi, mengawal, dan mendampingi gembalaannya, menjamin kesehatannya, yakni rakyatnya. Penggembala yang baik tidak harus selamanya berada di depan, tetapi kadang ia harus berada di tengah untuk merasakan kondisi dan kebutuhan gembalaannya. Kadang juga berada di belakang untuk mendorong dan mengawasi jangan sampai ada satu gembalaannya yang tertinggal dari kelompoknya.
Demikianlah jaminan kehidupan Islam yang jauh dari kemaksiatan dan penuh dengan kesejahteraan. Kehidupan seperti ini tidak akan pernah bisa dirasakan dalam kehidupan sekuler kapitalisme yang telah jelas keburukannya. Saatnya mengganti sistem kapitalisme dengan sistem Islam. Langkah pertama untuk mewujudkannya adalah dengan cara mengkaji Islam kaffah bersama kelompok dakwah Islam ideologis dan mendakwahkannya di tengah-tengah masyarakat.