KHUTBAH JUM’AT : CARA ISLAM MENGENTASKAN KEMISKINAN

KHUTBAH PERTAMA
إنَّ الْحَمْدَ لِلّٰهِ، نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ. أَشْهَدُ أَنْ لَا اِلٰهَ اِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لَاشَرِيْكَ لَهُ، شَهَادَةَ مَنْ هُوَ خَيْرٌ مَّقَامًا وَأَحْسَنُ نَدِيًّا. وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الْمُتَّصِفُ بِالْمَكَارِمِ كِبَارًا وَصَبِيًّا.
اللهُمَّ فَصَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَانَ صَادِقَ الْوَعْدِ وَكَانَ رَسُوْلًا نَبِيًّا، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ الَّذِيْنَ يُحْسِنُوْنَ إِسْلاَمَهُمْ وَلَمْ يَفْعَلُوْا شَيْئًا فَرِيًّا. أَمَّا بَعْدُ؛ فَيَا أَيُّهَا الْحَاضِرُوْنَ رَحِمَكُمُ اللهُ، اُوْصِيْنِيْ نَفْسِيْ وَإِيَّاكُمْ بِتَقْوَى اللهِ، فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ. قَالَ اللهُ تَعَالَى:
اِنَّمَا الصَّدَقٰتُ لِلْفُقَرَاۤءِ وَالْمَسٰكِيْنِ وَالْعٰمِلِيْنَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوْبُهُمْ وَفِى الرِّقَابِ وَالْغٰرِمِيْنَ وَفِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ وَابْنِ السَّبِيْلِۗ فَرِيْضَةً مِّنَ اللّٰهِۗ وَاللّٰهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ ۝٦٠ (اَلتَّوْبَةُ)
Alhamdulillâhi Rabbil ‘Âlamin, Segala puji bagi Allah Subhânahu Wa Ta’âlâ yang telah menganugerahkan kita nikmat iman dan Islam, serta mempertemukan kita di tempat yang diberkahi ini. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada junjungan kita, Nabi Muhammad Shallallâhu alaihi wasallam, beserta keluarga, sahabat, dan seluruh umatnya hingga akhir zaman.
Bertakwalah kepada Allah Subhânahu Wa Taâlâ dengan sebenar-benarnya takwa sebagaimana firman-Nya:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ حَقَّ تُقٰىتِهٖ وَلَا تَمُوْتُنَّ اِلَّا وَاَنْتُمْ مُّسْلِمُوْنَ
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan muslim. (QS. Âli Imrân [3]: 102)
Sungguh takwa adalah benteng terakhir kita di tengah kehidupan akhir zaman saat ini. Dan sungguh, hanya dengan takwa kita akan selamat di dunia dan akhirat.
Maâsyiral Muslimîn rahimakumullâh,
Kemiskinan dan ketimpangan ekonomi masih menjadi tantangan serius yang membayangi kehidupan masyarakat Indonesia. Menurut Bank Dunia, sekitar 60,3% penduduk Indonesia atau sekitar 171,8 juta jiwa hidup di bawah garis kemiskinan internasional sebesar US$6,85 per kapita per hari (berdasarkan PPP 2017), standar yang digunakan untuk negara berpendapatan menengah atas seperti Indonesia sejak 2023 dengan GNI per kapita US$4.870. Sementara itu, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat tingkat kemiskinan nasional pada September 2024 hanya sebesar 8,57% atau sekitar 24,06 juta jiwa, berdasarkan garis kemiskinan nasional Rp595.242 per bulan. Perbedaan ini wajar karena perbedaan standar pengukuran, sebagaimana dijelaskan oleh Kepala BPS, Amalia Adininggar Widyasanti (Merdeka.com, 2 Mei 2025).
Selain kemiskinan, Indonesia juga menghadapi ketimpangan ekonomi yang sangat mencolok. Global Inequality Report 2022 menempatkan Indonesia sebagai negara keenam dengan ketimpangan kekayaan tertinggi di dunia, di mana empat orang terkaya memiliki kekayaan lebih besar dari total kekayaan 100 juta penduduk termiskin. Oxfam (2023) mencatat bahwa kesenjangan antara yang terkaya dan termiskin di Indonesia tumbuh lebih cepat dibandingkan negara lain di Asia Tenggara dalam dua dekade terakhir. Kondisi ini menunjukkan bahwa masalah kemiskinan dan ketimpangan bersifat struktural, yang dipicu oleh penerapan sistem kapitalismeseperti pencabutan subsidi BBM dan dominasi konglomerasi atas sektor strategisserta lemahnya peran negara dalam menyediakan layanan dasar seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur bagi rakyat.
Maâsyiral Muslimîn rahimakumullâh,
Dalam Islam, kemiskinan tidak hanya dilihat dari sisi materi, tetapi juga dari kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (dharûriyyat) dengan cara yang menjaga martabat dan keimanan. Dalam al-Quran, orang miskin disebut sebagai faqîr dan miskîn, yang keduanya berhak menerima zakat. Firman Allah Subhânahu Wa Ta’âlâ:
اِنَّمَا الصَّدَقٰتُ لِلْفُقَرَاۤءِ وَالْمَسٰكِيْنِ…
“Sesungguhnya sedekah itu hanya untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin…” (QS. at-Taubah [9]: 60).
Menurut Imam Ibn Katsir, faqir lebih membutuhkan dibanding miskin, sementara Abu Hanifah berpendapat bahwa orang miskin lebih parah kondisinya dibanding faqir. Syaikh Abdul Qadim Zallum menjelaskan bahwa fakir adalah orang yang penghasilannya tidak cukup untuk kebutuhan pokok, sementara miskin adalah orang yang tidak memiliki apa-apa dan tidak meminta-minta. Rasulullah bersabda:
لَيْسَ الْمِسْكِينُ الَّذِي يَطُوفُ عَلَى النَّاسِ تَرُدُّهُ اللُّقْمَةُ وَاللُّقْمَتَانِ وَالتَّمْرَةُ وَالتَّمْرَتَانِ وَلَكِنْ الْمِسْكِينُ الَّذِي لَا يَجِدُ غِنًى يُغْنِيهِ وَلَا يُفْطَنُ بِهِ فَيُتَصَدَّقُ عَلَيْهِ وَلَا يَقُومُ فَيَسْأَلُ النَّاسَ
”Bukanlah orang miskin itu orang yang berkeliling (meminta-minta) kepada manusia, yang diberi sesuap dua suap, sebutir dua butir kurma. Akan tetapi, orang miskin adalah yang tidak memiliki kecukupan, namun tidak diketahui orang sehingga tidak diberi sedekah, dan tidak berdiri untuk meminta-minta kepada manusia.” (HR. Muttafaq alaih).
Kemiskinan dan kefakiran dalam Islam diukur dari ketidakmampuan memenuhi kebutuhan hidup yang mendasar, seperti makan, pakaian, dan tempat tinggal. Dalam hal ini, orang miskin berhak menerima zakat hingga dapat mengangkat kemiskinannya dan mencukupi kebutuhannya (Zallum, Al-Amwâl, hal. 143). Kefaqiran dan kemiskinan yang dijelaskan dalam ayat-ayat Al-Quran dan hadits ini menunjukkan bahwa kedua kondisi tersebut adalah hasil dari ketidakmampuan seseorang dalam memenuhi kebutuhan dasar yang wajar dalam hidup.
Sistem ekonomi Islam menekankan prinsip keadilan (al-adl), yang menjadikan distribusi kekayaan merata sebagai tujuan utama. Islam menolak sistem yang hanya menguntungkan segelintir orang kaya (QS. al-Hasyr [59]:7) dan menekankan peran negara dalam mengelola sumber daya untuk kesejahteraan rakyat. Negara Islam atau Khilafah, bertanggung jawab untuk memastikan pemenuhan kebutuhan dasar setiap individu, termasuk pangan, sandang, papan, pendidikan, dan kesehatan. Negara juga berperan aktif dalam sektor strategis seperti pertanian, perdagangan, dan industri untuk mencegah pemusatan kekayaan pada segelintir orang atau korporasi, sebagaimana ditegaskan oleh Al-Maliki dalam Politik Ekonomi Islam (2001).
Ma’âsyiral Muslimîn rahimakumullâh,
Dalam Islam, cara mengentaskan kemiskinan dimulai dengan; Pertama, pengaturan kepemilikan yang adil. Al-Quran menegaskan bahwa harta tidak boleh hanya beredar di antara orang kaya saja. Firman-Nya :
كَيْ لَا يَكُوْنَ دُوْلَةً ۢ بَيْنَ الْاَغْنِيَاۤءِ مِنْكُمْۗ
”…Agar harta itu tidak hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kalian…” (QS. al-Hasyr [59]: 7).
Sumber daya alam seperti minyak, gas, dan tambang harus menjadi milik umum yang dikelola negara demi kesejahteraan rakyat, bukan dikuasai oleh individu atau korporasi. Sistem ekonomi kapitalis yang diterapkan hari ini, yang menyerahkan pengelolaan aset strategis kepada individu atau korporasi, telah menyebabkan akumulasi kekayaan di segelintir orang, bertolak belakang dengan prinsip Islam yang menekankan kepemilikan umum dan pemerataan kekayaan (Syaikh Taqiyuddin an-Nabhâni, An-Nizhâm al-Iqtishâdi fî al-Islâm).
Kedua, mekanisme seperti zakat, infak, dan sedekah dalam Islam memastikan redistribusi kekayaan yang merata. Ketiga, setiap lelaki dewasa yang mampu wajib mencari nafkah sesuai dengan kemampuannya, sebagaimana firman Allah Subhânahu Wa Ta’âlâ:
لِيُنْفِقْ ذُوْ سَعَةٍ مِّنْ سَعَتِهٖۗ
”Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya…” (QS. ath-Thalâq [65]: 7).
Rasulullah Shallallâhu alaihi wasallam juga menegaskan bahwa mencari nafkah halal untuk keluarga dan membantu tetangga maka ia akan datang pada Hari Kiamat dengan wajah bagaikan bulan purnama (HR. al-Baihaqi). Negara juga berperan penting dengan menyediakan lapangan kerja melalui kebijakan ekonomi yang berorientasi pada sektor riil seperti perdagangan, pertanian, dan industri.
Keempat, negara dalam Islam wajib menjamin pemenuhan kebutuhan dasar rakyat seperti pangan, sandang, papan, pendidikan, dan pelayanan kesehatan secara cuma-cuma. Rasulullah Shallallâhu alaihi wasallam bersabda: ”Imam (kepala negara) adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus.” (HR an-Nasai).
Semua mekanisme ini hanya dapat terlaksana jika negara menerapkan syariah Islam secara menyeluruh dalam seluruh aspek kehidupan, yang seharusnya diwujudkan dalam pemerintahan, khususnya di negeri ini. WalLâhu alam bi ash-shawâb. []
بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِى اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الْآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيمِ وَتَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ وَإِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ العَلِيْمُ، وَأَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا فَأسْتَغْفِرُ اللهَ العَظِيْمَ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ
KHUTBAH KEDUA
اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ عَلىَ إِحْسَانِهِ، وَالشُّكْرُ لَهُ عَلَى تَوْفِيْقِهِ وَاِمْتِنَانِهِ، وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلٰهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى إِلَى رِضْوَانِهِ، اللّٰهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اٰلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كَثِيْرًا. أَمَّا بَعْدُ؛ فَياَ اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُواللّٰهَ فِيْمَا أَمَرَ وَانْتَهُوْا عَمَّا نَهَى وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَّى بِمَلآ ئِكَتِهِ الْمُسَبِّحَةِ بِقُدْسِهِ، وَقَالَ تَعاَلَى: إِنَّ اللهَ وَمَلآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِى يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ، وَعَلَى اَنْبِيآئِكَ وَرُسُلِكَ وَمَلآئِكَةِ اْلمُقَرَّبِيْنَ، وَارْضَ اللّٰهُمَّ عَنِ اْلخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ، أَبِى بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ وَعَلِي، وَعَنْ بَقِيَّةِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ، وَتَابِعِي التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِاِحْسَانٍ اِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ، وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ.
اللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءَ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ، اللّٰهُمَّ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ وَاْلمُسْلِمِيْنَ، وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ، وَانْصُرْ عِبَادَكَ اْلمُوَحِّدِيْنَ، وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ، وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ اْلمُسْلِمِيْنَ، وَدَمِّرْ أَعْدَاءَ الدِّيْنِ، وَاعْلِ كَلِمَاتِكَ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ.
اللّٰهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا الْغَلَاءَ وَاْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَاْلمِحَنَ، وَسُوْءَ اْلفِتْنَةِ وَاْلمِحَنَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ، عَنْ بَلَدِنَا اِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً وَسَائِرِ بُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ، رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ، رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْفُسَنَا وَإنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ.
عِبَادَ اللهِ ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِي اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْي يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ، وَاذْكُرُوا اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ، وَاسْأَلُوْهُ مِنْ فَضْلِهِ يُعْطِكُمْ، وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ، وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرْ

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *