Memahami Hakekat Barat (bagian 3-habis)
Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi
(14). Keilmuan Islam tidak bersumber dari Barat, peradaban Barat juga bukan peradaban Islam, tapi mengapa para ilmuwan Muslim banyak bilang “menemukan Islam” disana?
Istilah “menemukan Islam” menurut saya kurang tepat, sebab apa yang ditemukan itu hanyalah satu aspek dari kebaikan Islam. Jika seseorang melihat kebersihan di Singapura lalu menyimpulkan bahwa Singapura itu Islami, tentu salah. Sebab Singapura ternyata juga tidak bersih dari perjudian, pelacuran, penindasan ras dan ketidak adilan sosial.
Demikian pula jika orang melihat orientalis berpikir rasional, obyektif dan argumentatif lantas menyimpulkan orientalis itu Islami adalah salah. Ini lebih disebabkan oleh latar belakang dan kemampuan kritisnya yang rendah serta sikap inferioritasnya yang tinggi.
Sebelum ke Barat orang seperti ini mungkin belajar Islam dengan metode hafalan dan ketika sampai di Barat ia menemukan pemikiran orientalis yang menggunakan metode analisa yang kritis. Tanpa menyadari bahwa metode kritis dan analitis mereka itu justru bertentangan dengan tradisi intelektual Islam dan membingungkan.
Selain itu wawasannya tentang peradaban Islam juga rendah, sehingga apa yang dilihat di Barat itu sebagai kemajuan yang perlu ditiru Islam, padahal dalam sejarahnya umat Islam telah mencapai prestasi keilmuan yang lebih hebat dari Barat.
(15). Diantara para mahasiswa Muslim yang belajar di Barat itu semangat membawa ide rasionalisasi, sekularisasi dan liberalisasi Islam? Padahal ide-ide itu terasa asing bagi masyarakat Islam dan bahkan mengundang kontroversi. Mengapa ini terjadi?
Ini sisi lain dari mentalitas inferior itu. Mereka itu salah target dalam mengagumi Barat. Di Barat saja banyak yang telah mengkritik rasionalisme, sekularisme dan liberalisme. Ketika saya memberi kuliah umum di universitas Salzburg, Austria, saya berjumpa dosen-dosen yang tidak suka pluralisme dan liberalisme.
Mestinya umat Islam meniru sikap orang Barat yang kritis, bukan justru mengadopsi paham-paham yang ada di Barat. Mengapa ini terjadi? Karena rendahnya pengetahuan tentang pemikiran dan peradaban Islam dan Barat sekaligus, maka jalan pintas yang paling mudah adalah melakukan adopsi dan justifikasi konsep-konsep asing tanpa sikap kritis-selektif.
Seakan mereka tidak mampu lagi melakukan ijtihad yang berdasarkan pada khazanah konsep dan ilmu pengetahuan Islam. Dengan jalan ini mereka berharap konsep-konsep dari Barat yang tidak terdapat dalam khazanah intelektual Islam itu bisa dianggap baru.
(16). Tapi seberapa besar salahnya jika seorang Muslim mengadopsi konsep-konsep Barat?
Kesalahannya akan ditemui pada hasil akhirnya. Dengan menggunakan paham-paham ini maka pemahaman Muslim terhadap Islam bisa berubah. Sebagai contoh, jika selama ini umat Islam memahami al-Quran sebagai wahyu dari Allah kepada Nabi Muhammad, maka dengan menggunakan framework berpikir Barat ia menjadi bukan wahyu yang murni dari Allah.
Dengan filsafat hermeneutika misalnya, al-Quran menjadi produk budaya, atau diwahyukan karena situasi budaya Arab, atau malah bukan murni wahyu Tuhan, tapi interpretasi (tawil) Nabi terhadap wahyu Tuhan.
Selain itu, paham liberalisme yang mengandung konsep relativisme meletakkan ijtihad ulama di masa lalu dalam posisi relatif, tergantung pada tempat dan waktu. Ijtihad ulama Timur Tengah tidak sesuai untuk Indonesia, ijtihad abad ke 16 tidak bisa dipakai lagi untuk kondisi zaman sekarang.
Dengan framework liberal ini maka khazanah intelektual Islam menjadi tidak ada artinya. Kitab-kitab yang dikaji di Pesantren menjadi tidak sesuai lagi dan harus dibuang.
(17). Apa contoh yang lebih kongkrit dalam bidang pengambilan hukum?
Dalam studi Fiqih misalnya, kajian di Barat menekankan pada konteks sosial budaya manusia daripada teks. Maka dari itu dalil ushul fiqih: al-Ibratu bi umum al-lafz, la bikhusus al-sabab dibalik menjadi al-Ibratu bi khusus al-sabab la bi umum al-lafz.
Konteks historis lebih penting dari kandungan teks ayat. Dan ketika membaca sejarah, mereka memakai hermeneutik, yaitu metode tafsir yang melihat teks dari konteks sosial, politik, psikologis, ontologis, historis dan sebagainya ketika teks itu diturunkan. Dengan metode ini maka fiqih yang dipelajari di Pesantren akan dianggap kuno dan dianggap maskuline serta bertentangan dengan HAM.
(18). Sebetulnya pada pihak mana salahnya: Pemahaman Islam para pengkaji Barat, atau cara mahasiswa Muslim yang mengadopsi dan menerapkan pemahaman mereka?
Kalau kita mau introspeksi, kita harus akui bahwa kita yang salah. Salah karena belajar Islam kepada non-Muslim, padahal kita tahu pemahaman Islam ala Barat banyak yang tidak sesuai dengan Islam. Jika dasarnya adalah hadis perintah mencari ilmu meski ke negeri Cina (meski ini Dhaif), itupun tidak dapat diartikan sebagai perintah belajar Islam ke negeri Cina.
Jika ada yang berkilah bahwa di Barat terdapat hikmah yang hilang dan karena itu harus kita cari, masalahnya apakah kita punya ilmu untuk mencari dan menemukan hikmah itu dari belantara pemikiran non-Muslim.
Persoalannya menjadi jelas sekarang, bukan salah karena belajar kepada non-Muslim, tapi karena dua hal: Pertama, Karena belajar kepada orang yang tidak memiliki otoritas. Saya dulu di ISTAC Malaysia diajar oleh orientalis tentang sejarah sains Islam, filsafat Islam dan hubungan Islam dan Barat.
Ini menurut al-Attas tidak berarti kita belajar Islam kepada mereka. Materi-materi tentang al-Quran, Hadis, worldview Islam, dan sebagainya tetap diajar oleh profesor Muslim yang otoritatif. Kedua, Karena belajar kepada non Muslim dengan tanpa bekal ilmu keislaman yang cukup sehingga bisa membawa madharrat daripada maslahat.
(19). Bagaimana pula kita mesti menyikapi ajaran Islam ala Barat yang terlanjur tersebar ini?
Konsep, ide dan ideologi tidak dapat dihadapi dengan sesuatu yang sepadan. Kita tidak bisa demo menentang pemikiran, kita tidak bisa menantang perang karena derasnya arus globalisasi, Westernisasi dan liberalisasi. Kita harus menghadapinya dengan konsep dan ide yang lebih kuat.
Maka dari itu sikap kita dua: Pertama: Mengkaji Islam lebih dalam dengan metode yang lebih canggih lagi. Kedua: Mengkaji pemikiran orientalis, khususnya dan Barat pada umumnya untuk mengetahui tantangan yang sedang kita hadapi.
(20). Apa saja hal-hal penting yang mesti kita lakukan guna memajukan pendidikan Islam dan melepaskan diri dari hegemoni konsep dan paham Barat?
Pendidikan Islam harus diprioritaskan dari bidang-bidang lain. Sebab peradaban Islam itu bangkit berdasarkan ilmu pengetahuan. Agar pendidikan Islam maju Pertama-tama, Perlu dukungan semua pihak baik finansial atau politik; Kedua, Tujuan pendidikan Islam tidak hanya diarahkan mencari pekerjaan, tapi untuk mencetak insan kamil.
Ketiga, Pendidikan Islam harus diorientasikan kepada pengkajian turath dalam berbagai bidang, baik ilmu naqliyah maupun ilmu aqliyah, namun turath perlu dipahami dalam konteks kekinian. Sesudah menguasai pemikiran Islam baru kita mengkaji Barat secara kritis. Apa yang baik di Barat kita ambil, dan yang tidak sesuai dengan Islam kita buang. Mestinya begitu.