Bagaimana agar Bekerja Berbuah Pahala?

Seorang muslim, dalam meraih dan mengumpulkan pahala, tidak hanya diperoleh dari ibadah, seperti salat, puasa, ataupun haji saja. Akan tetapi, seluruh aktivitas kehidupan seorang mukmin semuanya bisa dijadikan sebagai sarana untuk mencari pahala. Orang yang cerdas adalah orang yang berusaha memanfaatkan seluruh atau sebagian besar aktivitas kehidupannya untuk memperoleh dan menghasilkan pahala. Di antara aktivitas rutin tersebut adalah pekerjaan yang kita lakukan sehari-hari. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan agar pekerjaan kita bernilai pahala di sisi Allah Ta’ala.

Pertama, apa pekerjaannya

Supaya pekerjaan kita bernilai pahala, maka yang dilihat pertama kali adalah pekerjaan yang dilakukan harus halal. Allah Ta’ala berfirman,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ كُلُوا۟ مِمَّا فِى ٱلْأَرْضِ حَلَٰلًا طَيِّبًا وَلَا تَتَّبِعُوا۟ خُطُوَٰتِ ٱلشَّيْطَٰنِ ۚ إِنَّهُۥ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ

Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan, karena sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 168)

Apapun pekerjaan yang kita lakukan, walaupun pekerjaan tersebut terlihat sederhana atau dianggap rendah dan remeh oleh orang lain, selagi itu pekerjaan yang halal, maka tidak perlu gengsi dan malu.

Kedua, seperti apa niatnya

Suatu pekerjaan akan dinilai pahala jika niatnya baik dan benar. Niat yang benar mencakup bekerja untuk menafkahi diri sendiri, menafkahi anggota keluarga, bermanfaat untuk orang lain, dan memudahkan kita untuk beribadah kepada Allah.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَا أطْعَمْتَ نَفْسَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ، وَمَا أطْعَمْتَ وَلَدَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ، وَ مَا أطْعَمْتَ وَالِدَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ، وَ مَا أطْعَمْتَ زَوْجَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ، وَ مَا أطْعَمْتَ خَادِمَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ

“Apa yang engkau berikan untuk memberi makan dirimu sendiri, maka itu adalah sedekah bagimu. Apa yang engkau berikan untuk memberi makan anakmu, maka itu adalah sedekah bagimu. Apa yang engkau berikan untuk memberi makan orang tuamu, maka itu adalah sedekah bagimu. Apa yang engkau berikan untuk memberi makan istrimu, maka itu adalah sedekah bagimu. Dan apa yang engkau berikan untuk memberi makan pelayanmu, maka itu adalah sedekah bagimu.“ (HR. Ibnu Majah no. 2138 dan Ahmad no. 916727; lihat Shahih Ibnu Majah, hal. 1739)

Dalam riwayat yang lain,

دِيْنَارٌ أنْفَقتَهُ في سَبِيْلِ اللهِ وَ دِيْنَارٌ أنْفَقتَهُ في رَقَبَةٍ وَ دِيْنَارٌ تَصَدَّقْتَ بِهِ عَلىَ مِسْكِيْنٍ وَدِيْنَارٌ أنْفَقتَهُ في أهْلِكَ أعْظَمُهَا أجْرًا الَّذِي أنْفَقتَهُ في أهْلِكَ

“Dinar yang engkau infakkan di jalan Allah, dinar yang engkau infakkan untuk membebaskan budak, dinar yang engkau sedekahkan kepada orang miskin, dan dinar yang engkau nafkahkan kepada keluargamu, pahala yang paling besar adalah dinar yang engkau nafkahkan untuk keluargamu.” (HR. Muslim)

Agama Islam juga merupakan agama yang memotivasi umatnya untuk giat bekerja dan melarang umatnya untuk mengemis atau meminta-minta kepada orang lain, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

مَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَسْأَلُ النَّاسَ حَتَّى يَأْتِىَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَيْسَ فِى وَجْهِهِ مُزْعَةُ لَحْمٍ

“Seseorang yang selalu meminta-minta kepada orang lain, di hari kiamat ia akan menghadap Allah dalam keadaan tidak sekerat daging sama sekali di wajahnya.” (HR. Bukhari no. 1474 dan Muslim no. 1040)

Selain hal di atas, niat bekerja agar memudahkan kita untuk ibadah, juga bernilai pahala di sisi Allah Ta’ala. Para sahabat pernah dimotivasi oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk bersedekah, akan tetapi sebagian sahabat tidak mempunyai harta untuk bersedekah. Akhirnya agar bisa bersedekah, mereka melakukan pekerjaan berat seperti menjadi kuli panggul atau mencari kayu bakar.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لَأَنْ يَغْدُوَ أَحَدُكُمْ، فَيَحْطِبَ عَلَى ظَهْرِهِ، فَيَتَصَدَّقَ بِهِ وَيَسْتَغْنِيَ بِهِ مِنَ النَّاسِ، خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ رَجُلًا، أَعْطَاهُ أَوْ مَنَعَهُ ذَلِكَ، فَإِنَّ الْيَدَ الْعُلْيَا أَفْضَلُ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى، وَابْدَأْ بِمَنْ تَعُولُ

“Jika salah seorang di antara kalian pergi di pagi hari lalu mencari kayu bakar yang dipanggul di punggungnya (lalu menjualnya), kemudian bersedekah dengan hasilnya dan merasa cukup dari apa yang ada di tangan orang lain, maka itu lebih baik baginya daripada ia meminta-minta kepada orang lain, baik mereka memberi ataupun tidak. Karena tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah. Dan mulailah dengan menafkahi orang yang engkau tanggung.” (HR. Bukhari no. 2075 dan Muslim no. 1042)

Baca juga: Ketika Istri Bekerja

Ketiga, bagaimana cara kerjanya

Cara kerja yang dimaksud adalah pekerjaan yang aslinya halal, semisal berdagang, bisa menjadi haram karena cara kerjanya salah dan zalim. Contohnya: ketika ada orang yang curang dalam menimbang, berbohong terkait kualitas barang atau malah yang diperjualbelikan barang haram, seperti minuman keras.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengingatkan dalam sabdanya,

الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا ، فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا بُورِكَ لَهُمَا فِي بَيْعِهِمَا ، وَإِنْ كَتَمَا وَكَذَبَا مُحِقَتْ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا

“Kedua pihak, penjual dan pembeli, boleh memilih (hak khiyar) selama belum berpisah. Jika keduanya jujur dan berterus terang, maka keduanya akan diberkahi dalam perdagangannya. Tapi jika keduanya menyembunyikan sesuatu dan berdusta, maka keberkahannya akan dihapus dari perdagangannya.” (HR. Bukhari no. 2079 dan Muslim no. 1532)

Ketika kita bekerja melakukan kezaliman, kecurangan atau kebohongan, maka Allah akan mencabut keberkahan hartanya. Harta yang tidak berkah akan menimbulkan banyak dampak negatif dalam kehidupan dirinya dan keluarganya. Harta yang tidak berkah, walaupun banyak, akan terasa sedikit dan cepat hilang. (Lihat Majmu’ah Al-Fatawa, 28: 646)

Harta yang tidak berkah tersebut, jika masuk ke dalam perut, akan membuatnya malas dalam beribadah kepada Allah Ta’ala. Dan ujungnya harta yang tidak berkah tersebut akan menjerumuskan ke dalam api neraka. Wal-‘iyyadzu billah.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah menasihati sahabat Ka’ab,

يَا كَعْبُ بْنَ عُجْرَةَ إِنَّهُ لاَ يَرْبُو لَحْمٌ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ إِلاَّ كَانَتِ النَّارُ أَوْلَى بِهِ

“Wahai Ka’ab bin ‘Ujrah, sesungguhnya tidaklah daging (anggota badan) yang tumbuh berkembang dari sesuatu yang haram, kecuali semua itu lebih berhak dibakar dalam api neraka.” (HR. Tirmidzi, no. 614. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadis ini hasan.)

Selain itu, cara kerja yang membuahkan pahala adalah tidak melalaikannya dari ibadah kepada Allah Ta’ala. Ibadah di sini meliputi hablumminallah (berhubungan dengan Allah, misalnya: salat lima waktu) dan hablumminannas (hubungannya dengan manusia, misalnya: mendidik keluarganya tentang agama dan akhlak). Demikian, karena seorang ayah akan ditanya tentang kepemimpinannya di akhirat kelak.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ الْإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِي أَهْلِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

“Setiap kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Seorang imam adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawabannya. Dan demikian juga, seorang pria adalah seorang pemimpin bagi keluarganya dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.” (HR. Bukhari)

Selain materi, tentu keluarga kita juga membutuhkan perhatian dan kasih sayang. Maka, selayaknya tatkala seorang ayah atau suami pulang dari pekerjaannya, ia memberikan waktu untuk istri dan anak yang telah menanti kedatangannya di rumah.

Semoga Allah Ta’ala memudahkan setiap pekerjaan yang kita lakukan dan memberikan pahala atas segala aktivitas yang telah kita upayakan untuk meraih rida dan rahmat-Nya.

اللَّهُمَّ اكْفِني بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ ، وَأَغْنِنِي بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ

“Ya Allah, cukupkanlah aku dengan yang halal dan jauhkanlah aku dari yang haram, dan cukupkanlah aku dengan karunia-Mu dari bergantung pada selain-Mu.” (HR. Tirmidzi no. 3563; Ahmad, 1: 153; dan Al-Hakim, 1: 538. Hadis ini dinilai hasan menurut At-Tirmidzi. Lihat Bahjah An-Nazhirin Syarh Riyadh Ash-Shalihin, 2: 509-510)

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *