Pernahkah Anda menjumpai seseorang yang berkata kepada Anda, “Sudah lah gak usah ribut mana yang benar dan salah. Semua agama itu sama saja.” Pandangan ini dikenal sebagai pluralisme. Pluralisme dibagi menjadi pluralisme secara teologis dan sosiologis. Pluralisme teologis berpendapat bahwa semua agama (besar) sama-sama benar, menyelamatkan, dan baik.
Semua Agama Sama-sama Benar dan Tinjauan Kritisnya
Seorang pluralis agama berpendapat bahwa semua agama sama-sama benar yaitu menuju ke Tuhan yang satu dan sama. Orang yang menganut pengertian ini berpikir bahwa meskipun Kekristenan, Islam, Buddha, Hindu, dll berbeda secara kulit luarnya, namun intinya tetap satu yaitu menuju ke Tuhan yang sama/satu. Angel Nadut (dosen FKIP UNWIRA, Kupang) mengajarkan,
“Setiap umat beragama/penganut kepercayaan apa pun di bumi ini sesungguhnya adalah rekan seperjalanan menuju Allah Sang Pencipta, meskipun melewati jalan yang berbeda.” (Angel Nadut, “Kasih dan Kerukunan Dalam Kemajemukan,” dalam dalam Mencintai Perbedaan: Renungan Lintas Iman Pluralisme dan Kerukunan, ed. P. Bertolomeus Bolong dan Fredrik Y. A. Doeka, 28).
Tinjauan Kritis:
Konsep yang disebutkan bu Nadut di atas disebut Monisme Pantheisme Timur. James W. Sire mengemukakan bahwa salah satu ide Monisme Pantheisme Timur adalah mencapai kesatuan dengan Yang Satu tanpa memandang doktrin dan agama. Sire mengutip perkataan Sri Ramakrishna yang mencerminkan ide Monisme, “jangan berdebat tentang doktrin dan agama. Hanya ada satu. Semua sungai mengalir ke Samudra. Mengalirlah dan biarkan orang lain mengalir juga!”
(James W. Sire, Semesta Pikiran: Sebuah Katalog Wawasan Dunia Dasar, 156). Permasalahannya adalah jika ada orang yang berkata bahwa semua agama menuju ke tujuan yang satu dan sama yaitu Realitas Ultimat atau Tuhan dan Realitas Ultimat itu “universal”, maka tanyakan ke orang itu, Realitas Ultimat atau Tuhan yang ia maksud itu seperti apa. Jika ia mulai menjelaskan Realitas Ultimat seperti penjelasan seorang Buddhis yaitu konsep ketuhanan (bukan Allah yang berpribadi), maka ia melanggar konsepnya sendiri yaitu berpihak pada agama tertentu. Ini tidak adil dan melawan dirinya sendiri.
Semua Agama Sama-sama Menyelamatkan dan Tinjauan Kritisnya
Keselamatan tidak dianggap sebagai hal yang istimewa bagi para pluralis karena mereka berpendapat bahwa arti keselamatan tergantung pada bagaimana setiap orang mendefinisikannya. John Hick mendefinisikan keselamatan sebagai transformasi bertahap manusia secara spiritual, moral, dan politis dari sifat mementingkan diri sendiri ke orientasi baru yanag radikal yang berpusat pada “Realitas Ultimat” yang dimanifestasikan dalam “buah roh” (John Hick, Dialogues in the Philosophy of Religion, 127). Dari konsep ini,
maka semua agama mengarah pada keselamatan dan gagasan keselamatan ada di setiap agama, meskipun setiap agama tidak menggunakan istilah “keselamatan.” Meskipun terdapat perbedaan pengalaman dan konsep di masing-masing agama, intinya tetap merupakan “transformasi manusia mendasar yang sama dari pemusatan diri menjadi pemusatan kembali pada Yang Nyata” (Ibid., 127).
Selain itu, bagi pluralisme, “pertanyaan tentang keselamatan/pembebasan terbatas atau universal berlaku sama bagi orang-orang dari semua agama dan bahkan bagi mereka yang tidak beragama” (Ibid., 129). Ini berarti semua orang tanpa kecuali mendapatkan kesempatan utk diselamatkan. Hal ini didasarkan pada belas kasihan Allah kepada semua orang tanpa kecuali (Ibid., 128).
Tinjauan Kritis:
Pertama, keselamatan adalah pembebasan dari dosa dan berkaitan dengan karya Allah Tritunggal. Di dalam Alkitab, kata “keselamatan” pertama kali bukan transformasi hidup seseorang secara spiritual, moral, dan politis, tetapi pembebasan dari belenggu dosa oleh karya Kristus (Rm. 5:9-10; Ef. 2:5-8; 1Tim. 1:15). Lebih tajam lagi, keselamatan ini berkaitan dengan percaya kepada Kristus (Rm. 10:9). Pembebasan dari dosa ini jelas didahului karya Allah Bapa yang telah memilih beberapa orang untuk diselamatkan di dalam Kristus (Ef. 1:4-5). Setelah Kristus menebus dosa kita, Roh Kudus melahirbarukan kita agar kita dapat percaya kepada Kristus dan menerima karya penebusan-Nya (Tit. 3:5). Ini berarti keselamatan tidak bisa dilepaskan dari karya Allah Tritunggal.
Kedua, keselamatan tidak untuk semua orang. Karena keselamatan adalah karya Allah Tritunggal, maka secara konsekuensi, keselamatan didasarkan pada rencana-Nya yang memilih beberapa orang untuk ditebus Kristus. Dengan kata lain, keselamatan tidak diperuntukkan bagi semua orang. Menariknya, Paulus berkata ketika Allah Bapa memilih beberapa orang untuk diselamatkan oleh Kristus, pemilihan-Nya didasarkan pada kasih karunia (Ef. 1:7). Apakah konsep pemilihan Allah tidak menunjukkan kasih Allah? Jelas tidak.
Yesus berkata di Yohanes 3:16, “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.” Kasih Allah yang sangat besar ditunjukkan dengan Ia mengutus Kristus mati bagi manusia dan hanya bagi yang percaya yang beroleh hidup yang kekal.
Ketiga, keselamatan untuk semua orang tidak menunjukkan kasih Allah dan tidak logis. Menariknya, Yesus yang berkata tentang kasih Allah di Yohanes 3:16 juga berfirman hal yang “mengagetkan” kita di ayat 18-19, “18 Barangsiapa percaya kepada-Nya, ia tidak akan dihukum; barangsiapa tidak percaya, ia telah berada di bawah hukuman, sebab ia tidak percaya dalam nama Anak Tunggal Allah. 19 Dan inilah hukuman itu: Terang telah datang ke dalam dunia, tetapi manusia lebih menyukai kegelapan dari pada terang, sebab perbuatan-perbuatan mereka jahat.” Ini berarti ada hukuman bagi orang yang tidak percaya kepada Yesus. Hukuman ini menandakan bahwa Allah yang adalah kasih juga Allah yang adil. Dengan kata lain, kasih dan keadilan Allah tidak dapat dipisahkan.
Lagipula, jika kaum pluralis ngotot berkata, “Lho keselamatan bagi kami bukan pembebasan dari dosa, tetapi transformasi hidup, sehingga keselamatan itu berlaku untuk semua orang,” maka kita bisa mengajukan pertanyaan kritis: apakah semua orang tanpa kecuali pasti mengalami transformasi hidup tersebut? Apakah John Hick dan kaum pluralis memiliki data akurat untuk membuktikannya?.
Semua Agama Sama-sama Baik dan Tinjauan Kritisnya
Semua agama itu baik dan mengajarkan kebaikan, maka jangan berdebat tentang mana agama yang benar. Pastor Bertolomeus Bolong memaparkan, “Semua agama mengajarkan kepada para penganutnya untuk berbuat baik kepada diri sendiri dan kepada sesama, bertindak adil, jujur, bermoral, dan beretika dalam sikap dan perilaku hidup.” (Bartolomeus Bolong, “Agama Inklusif,” dalam Mencintai Perbedaan, 6). Atau mungkin ada orang bahkan orang Kristen yang malas berdiskusi teologi selalu berkata, “Sudah lah, semua teologi dan agama itu sama saja, yang penting berbuat baik.”
Tinjauan Kritis:
Pertama, definisi kebaikan yang tidak sama bagi masing-masing agama. Kalau ada orang yang berkata bahwa semua agama mengajarkan kebaikan, tunjukkan ke orang itu bahwa setiap agama memiliki definisi kebaikan yang berbeda. Misalnya, menurut Kristen, seorang suami yang baik adalah ia yang setia kepada satu istri (Kej. 2:24; Mat. 19:5; Ef. 5:31), sedangkan menurut Islam, seorang suami yang baik (adil dan bertanggungjawab) sebaiknya poligami (lebih dari 1 istri) mengikuti teladan Muhammad.
Surah An-Nisa ayat 3 berkata, “Dan jika kamu takut tidak akan berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”
Kedua, standar kebaikan yang kabur. Jika ada orang yang berkata bahwa semua agama mengajar kebaikan, tanyakan kepadanya apa itu baik, apa standar baik, dll. Jika ia menjawab bahwa baik itu tidak jahat, tanyakan kepadanya lagi, apa itu baik, apa itu jahat, dari mana ia menilai sesuatu itu baik atau jahat. Jika ia mengatakan bahwa penilaiannya berdasarkan hati nurani, tanyakan lagi, hati nurani manusia itu berasal dari mana?
Jika ia menjawab, dari Tuhan, tanyakan lagi, Tuhan itu seperti apa: apakah berpribadi atau sekadar konsep ketuhanan atau banyak ilah? Jika ia percaya pada banyak ilah, tanyakan, mungkinkah ilah yang banyak menjadi standar baik dan jahat, padahal ilah-ilah tersebut saling bertengkar? Jika ia percaya pada konsep ketuhanan yang tak berpribadi, tanyakan, mungkinkah sesuatu yang tak berpribadi menjadi dasar moralitas (baik dan jahat)?