Generasi Z Dalam Bingkai Moderasi Beragama

”Tidak penting apa pun agama atau sukumu, Kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, maka orang tidak pernah tanya apa agamamu”

Abdurrahman Wahid, Presiden RI ke-4

Indonesia adalah Negara yang penduduknya majemuk dalam suku, adat, budaya, dan agama. Keberagaman budaya, bahasa dan agama di Indonesia adalah keniscayaan dan anugerah Tuhan yang Maha Kuasa. -, Keberagaman yang ada telah menjadi simbol persatuan yang dikemas dalam Bhinneka Tunggal Ika. Kemajemukan dalam hal agama terjadi karena masuknya agama-agama besar ke Indonesia.

Seperti pada Gambar diatas yang menyajikan data pemeluk agama di Indonesia menunjukkan bahwa Indonesia adalah bangsa yang beragama, dimana kehidupan beragama tidak dapat dipisahkan dari kehidupan bangsa Indonesia. Akan tetapi untuk menjaga keberagaman dan kemajemukan tidak mudah.. Sering sekali terjadi konflik internal antar umat beragama. Hal itu terjadi karena minimnya rasa toleransi antar umat beragama. Padahal menghargai agama lain adalah suatu kewajiban yang harus dilakukan oleh rakyat Indonesiaa, untuk menjaga agar bangsa Indonesia tetap utuh dan harmonis.

Belakangan ini, Indonesia kerap mengalami krisis toleransi, contoh yang sering terjadi seperti  tidak menerima pembangunan rumah ibadah dan pembubaran paksa pelaksanaan ibadah. Perbedaan yang ada justru menimbulkan perpecahan. Padahal, perbedaan itulah yang harusnya membuat Indonesia menjadi lebih indah dan berwarna. Agama mengajarkan kita tentang perdamaian dan anti kekerasan. Damai dalam perbedaan, kemanusiaan milik kita bersama. Keragaman adalah wujud keramahan Tuhan, keramahan untuk alam semesta. Selain krisis toleransi hal lain yang menyebabkan perpecahan adalah sering terjadinya gesekan sosial di masyarakat. Hal ini terjadi karena perbedaan cara pandang masalah keagamaan.

Tentu saja konflik ini sangat merusak kesejahteraan masyarakat dan merusak persatuan. Sebagai contoh ada umat beragama yang menghubungkan ajaran agama dengan ritual budaya lokal seperti sedekah laut, festival kebudayaan, atau ritual budaya lainnya, atau juga adanya perbedaan dalam jumlah rakaat dalam Sholat Tarawih. Di sisi lain, banyak orang yang disibukkan dengan penolakan pembangunan tempat ibadah agama lain di beberapa daerah. Meski syarat dan ketentuan sudah terpenuhi, tetapi karena umat mayoritas tidak menghendaki dan menyebabkan perselisihan dan berakhir dengan pertikaian dan sengketa.

Perpecahan yang ada sebenarnya diawali dari tingkat masyakarat paling bawah misalnya menolak pemimpin dengan alasan berbeda agama ini terjadi mulai dari pemilihan ketua OSIS, RT, RW, camat, walikota hingga gubernur. Selain itu, ada juga orang yang sangat ingin mengganti dasar-dasar negara dengan mengatasnamakan agama. Hal tersebut  tidak benar, karena kita hidup di negara yang telah memiliki dasar negara yang penuh dengan keberagaman. Fakta-fakta ini yang inilah yang dihadapi sehari-hari.

Oleh karena itu,  sangat mustahil untuk menyatukan cara pandang keagamaan di Indonesia, maka muncul pertanyaan: Bagaimana cara menyikapi hal tersebut? Membungkamnya tentu bukanlah jawaban yang tepat karena itu berarti melawan kebebasan  beragama. Akan tetapi jika membiarkannya maka akan tak terkendali, pandangan yang sangat ekstrem dan dapat sangat membahayakan kesatuan dan persatuan akan menyebar dengan cepat

Moderasi beragama, adalah salah satu solusi untuk mengambil jalan tengah dari semua permasalahan keagamaan. Bukan berarti, dengan beragama jalan tengah berarti beragama setengah-setengah. Hal tersebut sangat keliru! Secara bahasa, moderasi berasal dari kata latin moderatio yang memiliki makna yang sama dengan moderat.

Moderat adalah sebuah kata sifat, turusan dari kata moderation yang artinya tidak berlebihan atau merupakan lawan kata dari ekstrem. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), moderasi adalah pengurangan kekerasan atau penghindaran keekstreman. Oleh karena itu, kata “moderasi” di gabungkan dengan “beragama” lalu menjadi “moderasi beragama” yang memiliki makna sikap mengurangi kekerasan dan keekstreman dalam menyikapi kehidupan beragama.

Apa pentingnya moderasi beragama bagi kehidupan bangsa? Sangat penting! Karena, Indonesia adalah negara dengan masyarakat yang religius dan majemuk. Masyarakat Indonesia sangat lekat dengan agama, hal itu yang sudah tidak bisa dipungkiri lagi. Itulah mengapa kebebasan beragama juga dijamin oleh pemerintahan Indonesia sesuai Pasal 29 ayat 1 dan 2 UUD 1945. Pemerintah sudah berusaha melakukan yang terbaik demi menjaga keragaman agama di Indonesia. Tugas kita, sebagai rakyat Indonesia adalah menjaga keseimbangan antara kebebasan beragama dengan komitmen kebangsaan untuk menumbuhkan sikap cinta tanah air.

Orang-orang pun bertanya-tanya, cara pandang, sikap dan praktik beragama seperti apa yang di anggap ekstrem? Menurut Prof. Dr. Oman Fathurrahman, ada tiga ukuran yang bisa menjadi patokan. Pertama, dianggap ekstrem kalau atas nama agama seseorang melanggar nilai luhur dan harkat mulia kemanusiaan karena agama diturunkan untuk memuliakan manusia. Kedua, dianggap ekstrem kalau atas nama agama seseorang melanggar kesepakatan bersama yang bertujuan untuk kemashlahatan. Yang terakhir adalah dianggap ekstrem kalau atas nama agama seseorang melanggar hukum dengan sengaja tanpa alasan yang jelas.

Maka, jika seseorang menjalankan ketiga hal tersebut dengan mengatasnamakan agama,itu disebut dengan melewati batas. Logikanya, kemuliaan agama itu tidak bisa di tegakkan dengan cara merendahkan harkat kemanusiaan. Nilai moral agama juga tidak bisa diwujudkan melalui cara yang bertentangan dengan tujuan kemashlahatan umum. Begitu pula esensi agama tidak akan bisa diajarkan dengan melanggar ketentuan-ketentuan hukum yang sudah disepakati bersama sebagai panduan kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Ada dua contoh keekstreman beragama, yang pertama adalah tentang seorang wanita bernama Yunita yang hampir menjadi teroris karena dicuci otaknya oleh beberapa orang untuk menjatuhkan negara dengan embel-embel memperjuangkan agama dan membangun Negara Baru Allah, diduga kelompok tersebut bernama Negara Islam Indonesia (NII). Kejadian ini terjadi tidak lama setelah ledakan bom bunuh diri di tiga gereja dan kantor polisi di Surabaya.

Kelompok ini adalah kelompok Islam yang menghalalkan kekerasan untuk melakukan yang mereka inginkan. Kelompok ini sangat pandai dalam memanipulasi sehingga mudah membuat orang terutama remaja terjerumus ke ajaran sesat tersebut. Kelompok ini juga mengajarkan bahwa, orang kafir tidak boleh hidup dengan para muslimin dan mereka harus di berantas.[1]


[1] Sumber: www.bbc.com

Contoh peristiwa yang kedua, terjadi di Jayapura dimana seorang anak perempuan yang masih duduk di kelas 5 SD bernama Fadila Widy Afini Lokahita di keluarkan dari sekolahnya karena menggunakan hijab. Alasan Fadila dikeluarkan adalah karena hijab yang dikenakan Fadila dianggap mencoreng kebersamaan berpakaian sekolah. Orangtua Fadila mengaku bahwa anaknya sudah diberikan surat teguran pertama dan dipanggil ke sekolah tentang pelarangan menggunakan hijab di sekolah tersebut dan juga meminta Fadila untuk pindah sekolah jika ingin menggunakan hijab, tetapi Fadila memutuskan untuk tidak membuka hijabnya maka dari itu pihak sekolah memberikan surat yang menyatakan bahwa Fadila dikeluarkan dari sekolah dan sudah di tanda tangani oleh kepala sekolah.[2]


[2] Sumber: ham.go.id

Dari contoh pertama, hal ini sangat membahayakan generasi muda kita yang sedang mencari jati diri, masih labil, dan kadang mencari tempat cerita saat sedang galau, tiba-tiba datang seseorang dengan wajah polos seakan-akan memberikan solusi atas permasalahannya. Tapi malah menjerumuskan dengan pola yang sudah teroraganisir dan terstruktur dengan rapi. Seandainya Yunita berhasil dicuci otak, Bisa dibayangkan Yunita akan jadi seperti apa? bagaimana orang tua dan keluarga  yang ditinggalkannya, dan masa depannya pun sirna di telan nafsu dan keserakahan kaum keekstreman beragama. Dari kejadian tersebut jelas, bahwa Yunita bukan korban pertama, sehingga perlu Tindakan pencegahan agar tidak Yunita-Yunita selanjutnya.

Dan dari kedua kejadian diatas, bisa disimpulkan bahwa masih banyak kejadian yang terjadi dalam masyarakat yang belum bisa menghargai dan menerima perbedaan agama. Hal ini bertententangan dengan nilai Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Pasal 28 E ayat 1 “Setiap orang bebas memeluk dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, dan berhak kembali.”

Dalam kehidupan multikultural diperlukan pemahaman dan kesadaran multibudaya yang menghargai perbedaan, kemajemukan dan sekaligus kemauan berinteraksi  dengan siapapun secara adil. Menghadapi keragaman, maka diperlukan sikap moderasi, bentuk moderasi ini bisa berbeda antara satu tempat dengan tempat lainnya. Sikap moderasi berupa pengakuan atas keberadaan pihak lain, pemilikan sikap toleran, penghormatan atas perbedaan pendapat, dan tidak memaksakan kehendak dengan cara kekerasan. Diperlukan peran pemerintah, tokoh masyarakat, dan para generasi Generasi Z untuk mensosialisasikan, menumbuhkembangkan wawasan moderasi beragama terhadap masyarakat Indonesia untuk terwujudnya keharmonisan dan kedamaian.

Dikutip dari Hasil Sensus Penduduk 2020 oleh Biro Pusat Statistik (BPS), jumlah generasi Z mencapai 75,49 juta jiwa atau setara dengan 27,94 persen dari total seluruh populasi penduduk di Indonesia.  Sementara itu, jumlah penduduk paling dominan kedua berasal dari generasi Generasi Z sebanyak 69,38 juta jiwa penduduk atau sebesar 25,87 persen. Generasi Z sendiri merujuk pada penduduk yang lahir di periode kurun waktu tahun 1997-2012 atau berusia antara 8 sampai 23 tahun.

Sementara Generasi Z adalah mereka yang lahir pada kurun waktu 1981-1996 atau berusia antara 24 sampai 39 tahun. Dari persentase tersebut, jelas bahwa peran kaum Generasi Z itu sangat besar dalam membangun Indonesia, salah satu perannya adalah  menjadi formula ampuh dalam merespon dinamika zaman di tengah maraknya intoleransi, ektremisme, dan fanatisme berlebihan yang dapat mencabik kerukunan umat beragama di Indonesia. Generasi Z dapat menjadi Agen Moderasi beragama dengan cara mensosialisasikan muatan moderasi beragama di kalangan masyarakat agar tercipta kehidupan yang harmonis, damai, dan rukun.

Adapun langkah-langkah solusi untuk moderasi beragama di kehidupan Generasi Z adalah pertama, Selalu berpesan Adil, Generasi Z harus selalu berkata jujur, lurus dan tulus serta bebas dari diskriminasi. Berlaku adil dan tidak pernah memihak kecuali kepada kebenaraan. Contoh yang paling dasar yang bisa dilakukan sebagai Generasi Z tidak mengunggah ujaran kebencian terhadap apa yang tidak disukai dan tidak disetujui baik dari segi agama, suku, ras dan warna kulit. Kedua, Bersikap pertengahan,

sebagai Generasi Z harus dapat bersikap tidak melewati batas namun juga tidak kurang dari batasan yang ditetapkan oleh norma dan peraturan yang di tetapkan. Tetapi bukan berarti, Generasi Z dilarang untuk bersifat kritis. Hanya saja, melakukan kritis dengan tidak ekstrem dan pada sesuatu yang benar. ketiga, Menjadi umat terbaik. Sebagai Generasi Z harus mengikuti perintah agama dari hal yang paling kecil seperti berbakti kepada kedua orangtua, bangsa, negara, dan agama.

Menghadapi era seperti ini sudah saatnya Generasi Z turut andil dalam menyebarkan konten positif. Hal ini adalah hal yang paling dapat dilakukan oleh remaja untuk membangun bangsa Indonesia yang lebih baik, dan keempat, Berwawasan keilmuan yang luas, Generasi Z harus memiliki kekuatan fisik dan ilmu diatas rata-rata. Dengan cara terus belajar dan memiliki semangat untuk belajar hal-hal yang baru.

Langkah langkah diatas  perlu diinternalisasikan bagi Generasi Z di tengah derasnya pengaruh arus liberalisasi dan tindakan ekstrem yang mengatasnamakan agama. Internalisasi tersebut di harapkan dapat membangun Generasi Z yang memiliki sifat toleran antar umat beragama sehingga perbedaan menjadi sebuah anugerah yang di titipkan Tuhan bagi para pemeluknya.

Selain itu, dalam mendukung moderasi beragama ada 6 dosa besar yang harus dihindari oleh para Generasi Z (the six deadly sins in maintaining religious harmony):[3]

  1. Jangan berperilaku yang sebenarnya bertentangan dengan ajaran agama.
  2. Jangan tidak perduli terhadap kesulitan orang lain walaupun berbeda agama dan keyakinan.
  3. Jangan mengganggu orang lain yang berbeda agama dan keyakinan.
  4. Jangan melecehkan agama dan keyakinan orang lain.
  5. Jangan menghasut atau menjadi provokator bagi timbulnya kebencian dan permusuhan antar umat beragama.
  6. Jangan saling curiga tanpa alasan yang benar.

[3] Sumber: jatim.kemenag.go.id

Jadi, moderasi beragama merupakan alat perekat antara semangat beragama dengan komitmen berbangsa dan bernegara. Yakinlah bahwa bagi kita, bagi bangsa Indonesia bahwa beragama pada hakikatnya adalah ber Indonesia dan ber Indonesia itu pada hakikatnya adalah beragama. Moderasi beragama harus kita jadikan sebagai sarana mewujudkan kemashlahatan kehidupan beragama dan berbangsa yang rukun, harmonis, damai, toleran, serta taat konstitusi, sehingga kita bisa benar-benar menggapai cita-cita bersama menuju Indonesia maju. Untuk itu, mari kita jaga persatuan dan kesatuan Negara Republik Indonesia ini. Yang telah diperjuangkan dengan penuh pengorbanan, termasuk oleh tokoh dan umat beragama, para pahlawan kita.

Oleh karena itu sebagai bagian dari kaum Generasi Z saya mengajak kaum muda Indonesia sebagai orang yang memiliki peran penting dalam membawa negeri ini dimasa depan marilah kita membangun interaksi yang baik dan intensif. Mari kita tumbuh kembangkan lagi sikap toleransi di dalam diri dan lingkungan kita Supaya kita sebagai generasi penerus bangsa ini bisa memberikan kontribusi positif dan kebhinekaan terjalin erat kembali dalam diri dan negara yang kita cintai ini.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *