Mengenal Tafaul

Dalam kehidupan, manusia sering kali dihadapkan pada berbagai tantangan dan cobaan yang menguji keimanan. Di tengah kesulitan tersebut, Islam mengajarkan untuk selalu husnuzan kepada Allah Ta’ala dan berharap akan datangnya kebaikan. Konsep ini dikenal dengan tafa’ul (optimisme). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri telah memberikan contoh nyata bagaimana tafa’ul menjadi bagian dari akhlak mulia seorang muslim.

Artikel ini akan mengupas lebih dalam tentang tafa’ul. Semoga Allah memberikan taufik-Nya kepada kita semua.

Definisi tafa’ul

Secara bahasa, tafa’ul berasal dari asal kata Al-fa’l (الفأل) yang merupakan lawan dari thiyarah (الطيرة). Al-fa’l (الفأل) yaitu,

ما يُظَنُّ عندَه الخيرُ

“Sesuatu yang dianggap membawa kebaikan.”

Tafa’ul (تَّفاؤُلُ) berasal dari kata kerja tafa’ala (تفاءَلَ); merupakan lawan dari (التَّشاؤُمِ) tasya’um. [1]

Sedangkan secara istilah, tafa’ul adalah,

انشراحُ قَلبِ الإنسانِ وإحسانُه الظَّنَّ، وتوقُّعُ الخيرِ بما يسمَعُه مِنَ الكَلِمِ الصَّالحِ أو الحَسَنِ أو الطَّيِّبِ

“Keterbukaan hati manusia dan prasangka baiknya, serta harapan akan kebaikan dari apa yang didengarnya berupa kata-kata yang baik, bagus, atau menyenangkan.” [2]

Di antara contoh tafa’ul:

Pertama: Ketika Suhail bin Amr datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam peristiwa Perjanjian Hudaibiyah, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan, “Suhail telah datang, maka semoga urusan kalian menjadi mudah”; dengan mengaitkan nama “Suhail” yang bermakna “kemudahan” sebagai pertanda baik. [3]

Kedua: Ketika seseorang sedang sakit, lalu ia ber-tafa’ul dari apa yang didengarnya. Misalnya, mendengar seseorang berkata, “Wahai Salim.” (Salim berarti orang yang sehat). Maka, ia pun berprasangka bahwa dirinya akan sembuh dari sakitnya.

Ketiga: Ketika seseorang sedang mencari sesuatu yang hilang, lalu ia mendengar orang lain berkata, “Wahai Wajid.” (Wajid berarti orang yang menemukan). Maka, ia pun berprasangka bahwa dirinya akan menemukan barang yang hilang. [4]

Anjuran tafa’ul

Islam menganjurkan umatnya untuk senantiasa berprasangka baik (husnuzan) kepada Allah dalam menghadapi segala situasi kehidupan. Di antara wasilah untuk husnuzan tersebut, adalah dengan tafa’ul.

Di antara dalil atas dianjurkannya tafa’ul adalah:

Pertama: Allah Ta’ala menjelaskan dalam Al-Qur’an sebuah gambaran dari tafa’ul Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam di tengah-tengah ujian dan pengepungan.

Allah berfirman,

إِلَّا تَنْصُرُوهُ فَقَدْ نَصَرَهُ اللَّهُ إِذْ أَخْرَجَهُ الَّذِينَ كَفَرُوا ثَانِيَ اثْنَيْنِ إِذْ هُمَا فِي الْغَارِ إِذْ يَقُولُ لِصَاحِبِهِ لَا تَحْزَنْ إِنَّ اللَّهَ مَعَنَا فَأَنْزَلَ اللَّهُ سَكِينَتَهُ عَلَيْهِ وَأَيَّدَهُ بِجُنُودٍ لَمْ تَرَوْهَا وَجَعَلَ كَلِمَةَ الَّذِينَ كَفَرُوا السُّفْلَى وَكَلِمَةُ اللَّهِ هِيَ الْعُلْيَا وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

Jika kalian tidak menolongnya (Muhammad), maka sesungguhnya Allah telah menolongnya ketika orang-orang kafir mengeluarkannya (dari Makkah), sedangkan dia salah satu dari dua orang ketika keduanya berada di dalam gua, di saat dia berkata kepada temannya, ‘Janganlah kamu bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita.’ Maka, Allah menurunkan ketenangan kepadanya dan membantunya dengan bala tentara yang tidak kalian lihat, dan menjadikan seruan orang-orang kafir itulah yang rendah, sementara kalimat Allahlah yang tinggi. Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana.” (QS. At-Taubah: 40)

Ath-Thabari rahimahullah menjelaskan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada sahabatnya, Abu Bakar, ‘Jangan bersedih‘; karena Abu Bakar khawatir bahwa para pengejar akan menemukan tempat persembunyian mereka di gua. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menenangkannya dengan berkata, ‘Jangan bersedih, karena Allah bersama kita. Allah akan menolong kita, dan orang-orang musyrik tidak akan menemukan kita dan tidak akan mencapai kita.‘” [5]

Kedua: Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لَا عَدْوَى ولاَ طِيَرَةَ، وَيُعْجِبُنِي الفألُ

Tidak ada penularan penyakit (dengan sendirinya), dan tidak ada thiyarah, namun aku suka dengan fa’l.

Para sahabat bertanya, “Apa itu fa’l?” Beliau menjawab,

كَلِمَةٌ طَّيِّبَةٌ

Kata-kata yang baik.” (HR. Bukhari no. 5776)

Syekh Muhammad Al-’Utsaimin rahimahullah mengatakan, terkait dengan hadis tersebut, “Dianjurkannya fa’l, ini diambil dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, ‘Aku suka dengan fa’l’; dan segala sesuatu yang disukai oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah baik (dianjurkan).” [6]

Baca juga: Berprasangka Baik kepada Allah

Larangan tathayyur

Tathayyur dan tiyarah bermakna sama. [7]

Thiyarah merupakan lawan dari tafa’ul, sebagaimana disebutkan di awal pembahasan. Terdapat banyak dalil atas larangan thiyarah, di antaranya:

Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

الطِّيرةُ شِركٌ

Thiyarah adalah syirik.’

Beliau mengulanginya sebanyak tiga kali.” (HR. Abu Dawud no. 3910, dan disahihkan oleh Al-Albani)

Syekh Sulaiman bin Abdillah rahimahullah mengatakan, “‘Thiyarah adalah syirik’ secara tegas menunjukkan bahwa thiyarah diharamkan dan termasuk syirik, karena di dalamnya terdapat ketergantungan kepada selain Allah dan keterikatan hati kepada selain-Nya” [8]

Perbedaan antara tafa’ul dan thiyarah

Pembahasan ini merupakan pembahasan yang sangat penting terkait dengan tafa’ul, karena tafa’ul dan thiyarah nampak mirip, padahal hakikat dan hukumnya jauh berbeda.

Thiyarah mempengaruhi keputusan seseorang untuk melanjutkan atau menghentikan suatu tindakan. Sedangkan fa’l sudah ada tekat (keputusan) dalam diri seseorang (untuk melakukan sesuatu), namun tafa’ul menambah kebahagiaan dan prasangka baik. Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Kalimat baik yang didengar oleh salah seorang dari kalian,” dan beliau tidak mengatakan, “Dia melanjutkan tindakan karena hal tersebut.” Wallahu a’lam[9]

Syekh Abdurrahman bin Hasan rahimahullah berkata,

وأما الفأل فيسر به العبد ولا يعتمد عليه بخلاف ما يمضيه أو يرده فإن للقلب عليه نوع اعتماد

Adapun fa’l membuat hamba senang, tetapi dia tidak bergantung kepadanya, berbeda dengan apa yang mempengaruhi hati untuk melanjutkan atau membatalkan sesuatu, karena hati memiliki kecenderungan bergantung padanya.” [10]

Syekh As-Sa’di rahimahullah mengatakan, “Perbedaan antara keduanya adalah bahwa fa’l yang baik tidak merusak akidah atau akal seseorang, dan tidak menyebabkan hatinya bergantung kepada selain Allah. Sebaliknya, fa’l memberikan manfaat berupa semangat, kebahagiaan, dan memperkuat jiwa dalam mencapai tujuan yang bermanfaat.” [11]

Perbedaan antara tafa’ul dengan takhayul dan khurafat

Sebagai penutup dari pembahasan ini, mungkin banyak dari kita bertanya, apakah perbedaan antara tafa’ul dengan takhayul dan khurafat? Meninjau dari sisi keduanya merupakan sesuatu yang muncul dari hal yang nampaknya tidak ada hubungan langsung dengan apa yang hendak dilakukan oleh pelakunya.

Maka, tafa’ul, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, yaitu keterbukaan hati manusia dan prasangka baiknya, serta harapan akan kebaikan dari apa yang didengarnya berupa kata-kata yang baik, bagus, atau menyenangkan.

Takhayul yaitu suatu bentuk pembayangan atau imajinasi tanpa dasar yang kuat. Sedangkan khurafat, merupakan bentuk takhayul yang lebih khusus, di mana dia tidak hanya melibatkan keyakinan yang tidak didasarkan pada khayalan, namun juga diwarnai oleh unsur-unsur kedustaan. [12]

Secara ringkas, perbedaan antara tafa’ul dengan takhayul dan khurafat adalah tafa’ul merupakan sikap positif (optimisme) yang berdasar pada husnuzan kepada Allah, sementara takhayul dan khurafat merupakan keyakinan yang tidak memiliki dasar, namun khurafat mengandung unsur kedustaan atau manipulasi yang lebih kuat dibanding takhayul. Wallahu a’lam.

Kesimpulan

Tafa’ul merupakan bentuk untuk husnuzan kepada Allah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menganjurkan umatnya untuk tafa’ul dan mencontohkannya dalam berbagai peristiwa penting. Tafa’ul memberikan kebahagiaan dan motivasi, berbeda dengan thiyarah, yang merupakan bentuk kesyirikan. Wallahu a’lam.

Demikian, artikel ini diharapkan dapat memberikan pemahaman yang lebih jelas mengenai tafa’ul. Semoga Allaah senantiasa memberikan taufik-Nya untuk kita semua.

Baca juga: Rincian Hukum Su’uzan (Prasangka Buruk)

***

Rumdin PPIA Sragen, 17 Rabiulawal 1446H

Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab

Artikel: Muslim.or.id

 

Catatan kaki:

[1] Mu’jam At-Tauhid, oleh Ibrahim bin Sa’d, 3: 156.

[2] Nadhratun Na’im, 3: 1046, dinukil dari

[3] Zadul Ma’ad, oleh Ibnul Qayyim, 3: 362.

[4] Taisir ‘Azizil Hamid, oleh Sulaiman bin Abdillah.

[5] Jami’ Al-Bayan oleh Ibn Jarir, 11464. lihat

[6] Al-Qaul Al-Mufid, oleh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, 1: 582.

[7] Thiyarah, oleh Muhammad bin Ibrahim Al-Hamad, hal. 5.

[8] Taisir ‘Azizil Hamid, hal. 375.

[9] Mu’jam At-Tauhid, 3: 158. Lihat juga:

[10] Fath Al-Majid, oleh Abdurrahman bin Hasan, hal. 289.

[11] Al-Qaul As-Sadid, oleh Abdurrahman bin Nashir As-Si’diy, hal. 119.

 

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *