Tujuan Baik Tidak Menghalalkan Segala Cara

Yang penting niat dan tujuannya baik

itulah ungkapan yang sering didengar dari para pelaku perbuatan yang menyelisihi syariat, ketika tidak lagi memiliki alasan lain. Ungkapan ini dijadikan tameng untuk menangkis teguran dan kritikan yang diarahkan kepadanya.

Bahkan ada yang menjadikan ungkapan ini sebagai landasan untuk melegalkan dan menghalalkan segala cara demi mewujudkan niat baiknya, baik dalam urusan dunia maupun agama. Misalnya, demi mewujudkan niat beribadah kepada Allâh Azza wa Jalla , namun segala cara ditempuh termasuk cara yang mengandung bid’ah atau maksiat.

Sebagian yang lain ingin menegakkan agama dan membela kehormatan kaum Muslimin tetapi mereka menempuh cara-cara yang sangat buruk dengan melancarkan aksi teror, membunuh, mencuri serta bom bunuh diri. Ada juga yang ingin berdakwah, tetapi dengan musik dan sinetron ‘Islami’.

Dalam urusan dunia, ada yang ingin menggenggam jabatan dan kedudukan, Namur dengan melegalkan suap, bohong dan tindak kedzaliman. Kekayaan dan harta melimpah termasuk diantara yang menyilaukan banyak orang sehingga segala cara untuk meraihnya ditempuh, tanpa peduli halal dan haram.

Itulah sebagian fakta zaman sekarang ini, kehidupan materialis yang sangat terwarnai fitnah syubuhât dan syahawât. Yang menjadi pertanyaan, bagaimanakah status ungkapan ‘apapun dilakukan, yang penting niat dan tujuannya baik’ dalam pandangan Islam? Apakah tujuan yang baik boleh menghalalkan segala cara?

Makna Sarana dan Jenisnya

Sebelum menjawab pertanyaan di atas, perlu dijelaskan terlebih dahulu sebuah kaedah masyhur dan agung yang berkaitan dengan tujuan (al-maqâshid) dan sarana (al-wasîlah) yang berbunyi :

الْوَسَائِلُ لَهَا أَحْكَامُ الْمَقَاصِدِ

Sarana memiliki hukum sama dengan tujuan(nya)

Sarana adalah sesuatu atau metode yang digunakan untuk meraih atau mewujudkan maksud dan tujuan. Maksud dari kaidah di atas adalah hukum sarana sama dengan hukum tujuannya. Jika tujuan yang dicapai hukumnya wajib, maka sarananya juga demikian hukumnya wajib. Bila tujuannya haram, maka sarana untuk mencapainya pun hukunya juga haram. Dan apabila tujuannya bersifat mubah, sunat atau makruh, maka hukum sarananya begitu juga. Oleh karenanya, jika suatu kewajiban tidak mungkin terlaksana kecuali melalui suatu sarana tertentu, maka sarana (cara) tersebut wajib dilakukan. Dari sini terpahami betapa pentingnya sebuah sarana.

Namun perlu di ketahui bahwa sarana itu terbagi dua :

  1. Sarana yang baik. Sarana inilah yang hukumnya sama dengan hukum tujuan atau maksud.
  2. Sarana yang tidak baik. Sarana ini tidak boleh dilakukan, meski tujuan dan niatnya baik. Sebab dalam agama Islam, maksud yang baik tidak bisa membolehkan atau menghalalkan sarana yang haram (terlarang), seperti mencuri untuk membelanjai keluarga. Mencuri hukumnya tetap haram, meski tujuannya bagus yaitu mencukupi kebutuhan belanja keluarga. Jadi, sarana yang haram tetap terlarang, sekalipun tujuannya baik.

Ini menunjukkan bahwa dalam syari’at islam, maksud yang baik harus digapai dengan sarana (cara) yang baik pula atau dibenarkan syariat. Sebab tujuan dan maksud tertentu tidak menghalalkan segala cara dan sarana, kecuali dalam kondisi yang sangat dhorurat, dan itu pun harus diukur sesuai dengan kadar kedaruratannya, tidak bebas. Hal ini berdasarkan kaedah :

الضَّرُوْرَةُ تُبِيْحُ الْمَحْظُوْرَاتِ

(Keadaan) yang dharurat menyebabkan sesuatu yang terlarang menjadi boleh

Dan kaidah lain yaitu :

الضَّرُوْرَةُ يُقَدَّرُ بِقَدَرِهَا

(Keadaan) dharurat diukur dengan kadarnya

Tujuan Tidak Menghalalkan Segala Cara

Dengan demikian jelaslah bahwa kaidah “tujuan membolehkan segala cara” adalah sebuah kaedah yang keliru dan batil. Akan tetapi, kaedah yang benar adalah:

الْغَايَةُ لاَ تُبَرِّرُ الْوَسِيْلَةَ إِلاَّ بِدَلِيْلٍ

Tujuan tidak membolehkan wasilah (cara) kecuali dengan dalil

Pengertiannya, bahwa tujuan (niat) baik tidak bisa begitu saja membenarkan (menghalalkan) sarana yang terlarang, kecuali bila ada dalil yang membolehkan sarana tersebut. Oleh karenanya, tidak diperbolehkan bagi seorang pun berdalih dengan niat atau tujuan baik untuk membolehkan sarana yang haram. Akan tetapi, ia harus memperhatikan maksud yang baik, sarana yang syar’i dan dampak yang baik sekaligus, dan bila terdapat dalil yang shahîh yang membolehkan melakukan sarana yang terlarang untuk mengaplikasikan, menyelamatkan dan memelihara tujuan yang baik, maka hukum tersebut hanya khusus untuk sarana itu saja, seperti berbohong untuk mendamaikan atau memperbaiki hubungan persaudaraan sesama Muslim, berbohong untuk menyelamatkan jiwa yang tidak berdosa dari bahaya, bohong (menipu) orang kafir dalam perang dan suami berbohong kepada istri demi terjalinnya keharmonisan dan kasih- sayang antara mereka berdua. Ini semua telah dijelaskan oleh hadits hadits yang shahîh. Nabi bersabda:

لَيْسَ الْكَذَّابُ الَّذِي يُصْلِحُ بَيْنَ النَّاسِ ويَقُولُ خَيْرًا ويَنْمِي خَيْرًا

Bukanlah pembohong orang yang mendamaikan antara manusia, ia berkata baik dan menaburkan kebaikan “.

Tentang hadits ini, Ibnu Syihâb rahimahullah, termasuk perawi hadits ini mengatakan:

وَلَمْ أَسْمَعْ يُرَخَّصُ فِي شَيْءٍ مِمَّا يَقُولُ النَّاسُ كَذِبٌ إِلاَّ فِي ثَلاَثٍ الْحَرْبُ وَالإِصْلاَحُ بَيْنَ النَّاسِ وَحَدِيثُ الرَّجُلِ امْرَأَتَهُ وَحَدِيثُ الْمَرْأَةِ زَوْجَهَا.

“Saya tidak mendengar ada keringanan dalam suatu kebohongan yang dikatakan oleh manusia kecuali pada tiga perkara: dalam perang, mendamaikan antara manusia, pembicaraan suami kepada istrinya dan pembicaraan istri kepada suaminya”[1] .

Dalam hadits lain, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

الْحَرْبُ خُدْعَةٌ

Peperangan adalah (berisi) tipu-daya” [2]

Hukum asal kebohongan itu adalah haram, akan tetapi hukumnya beralih menjadi boleh dalam kondisi di atas demi mewujudkan tujuan yang baik. Sebagian ulama menjelaskan bahwa maksudnya bukan kebohongan murni, tetapi sekedar berbentuk ta’rîdh (ucapan yang tidak berterus-terang).

Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Para ulama telah sepakat bolehnya mengelabui orang kafir dalam peperangan dengan cara apa saja yang mungkin dilakukan, kecuali bila terdapat padanya pembatalan perjanjian dan perdamaian, ini tidak di perbolehkan. Dalam hadits yang shahîh terdapat kandungan pengertian bolehnya melakukan kebohongan dalam tiga perkara, salah satunya: dalam perang. Ath Thabari rahimahullah berkata: “Kebohongan yang hanya diperbolehkan dalam perang adalah al-ma’ârîdh (tidak berterus-terang) bukan kebohongan murni, (kalau ini) hukumnya tidak boleh’, Imam Nawawi rahimahullah mengomentari : “Demikian pernyataan beliau. Walaupun yang kuat adalah bolehnya melakukan kebohongan murni, akan tetapi tentu melakukan ta’rîdh (tidak berterus-terang dalam berucap) adalah lebih afdhol (utama) Wallâhu a’lam” [3] .

Sebuah Kaedah Politikus Yahudi

Dari pemaparan ini, jelaslah jawaban pertanyaan di atas, apakah tujuan membolehkan segala sarana? Tentu saja, jawabanya: tidak!. Itu bukanlah sebuah kaedah syar’i dan prinsip agama yang mulia, namun sebuah kaedah yang diadopsi dari seorang non-Muslim, tiada lain sumbernya kecuali teori yang di cetuskan oleh seorang politikus Yahudi yang bernama Niccolo Machiaveli yang berasal dari Italia yang hidup antara tahun (1469-1527 M), oleh karenanya kaedah ini dikenal dengan teori Machiaveli [4] .

Sebuah kaedah yang jelas kebatilannya, bertentangan dengan kaedah syari’ yang menjelaskan bahwa setiap amalan hanya diperbolehkan dan dihukumi sebagai amal sholeh apabila tujuannya baik, sarananya baik dan berdampak (berakibat) baik.

Di antara perkara yang menjelaskan kebatilan teori Machiaveli ini sebagai berikut [5] :

  1. Islam mengharuskan manusia memperhatikan sarana (cara) sebagaimana memperhatikan maqooshid (tujuan). Siapa saja yang hanya memperhatikan tujuan, tanpa mempedulikan sarana (cara pencapaiannya), berarti orang ini telah mengambil sebagian agama, sekaligus mengesampingkan sebagian aturan syar’i yang lain. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

    أَفَتُؤْمِنُونَ بِبَعْضِ الْكِتَابِ وَتَكْفُرُونَ بِبَعْضٍ ۚ فَمَا جَزَاءُ مَنْ يَفْعَلُ ذَٰلِكَ مِنْكُمْ إِلَّا خِزْيٌ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۖ وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يُرَدُّونَ إِلَىٰ أَشَدِّ الْعَذَابِ ۗ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ

    Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al Kitab dan ingkar terhadap sebahagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allâh tidak lengah dari apa yang kamu perbuat“. (QS. al-Baqarah/2 : 85)

  2. Menyelisihi agama dalam pemilihan sarana (cara) seperti halnya menyelisihi agama dalam penentuan tujuan. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

    فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

    Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa adzab yang pedih” (QS. An-Nûr/24:63)
    Kata (أَمْرِهِ) dalam ayat di atas adalah sebuah kalimat nakirah (umum) yang diidhofahkan (sandarkan), maka menunjukkan makna yang umum, mencakup seluruh perkara yang berkaitan dengan sarana (cara) dan tujuan.

  3. Tidak diragukan lagi bahwa kaedah ini adalah faktor utama kerusakan kehidupan dunia, merajalelanya bermacam bentuk kezhaliman, kerusuhan dan kekacauan, dan kebinasaan manusia. Berikut perkataan sebagian ulama Islam yang menjelaskan kebatilan kaedah yahudiyyah ini, menghalalkan segala cara demi tujuan :
    • Imam al ‘Iz Ibnu ‘Abdus Salâm rahimahullah berkata: “Tidak boleh mendekatkan diri kepada Allâh kecuali dengan bermacam maslahat dan kebaikan, dan tidak boleh mendekatkan diri kepada-Nya dengan suatu kerusakan dan kejahatan. Berbeda dengan para raja (penguasa) yang zhalim yang (manusia) mendekatkan diri kepada mereka dengan kejahatan, seperti merampas harta, pembunuhan, menganiaya manusia, menebarkan kerusakkan, menampakkan kebangkangan dan merusak negeri, dan tidak boleh mendekatkan diri kepada Rab (Allah) kecuali dengan kebenaran dan kebaikkan”[6] .
    • Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Tidak setiap sebab (cara) yang (dengannya) manusia mendapatkan (pemenuhan) kebutuhannya disyariatkan dan diperbolehkan. Hanya diperbolehkan apabila maslahatnya lebih dominan dari mafsadah (kerusakan, bahaya)nya dari hal-hal yang diizinkan oleh syariat” .[7]

    Itulah sebagian perkataan ulama Islam tentang bahaya dan larangan menghalalkan segala cara demi meraih tujuan. Kendatipun demikian hukumnya, akan tetapi kaedah yahudiyyah yang batil ini tetap masih banyak digunakan oleh sebagian kaum Muslimin. Mereka ini tidak mempertimbangkan dan memilih sarana dan cara yang syar’i (yang baik) demi mewujudkan tujuan dan cita-cita.

Contoh Nyata Praktek Kaedah Rusak Ini Di Masyarakat

Sangat di sayangkan, sebagian orang yang ingin mengajak kepada islam dan memperjuangkan kehormatannya dengan menggunakan kaedah yang batil ini. Berikut beberapa contoh riilnya:

Contoh 1

Sebagian orang ingin menyampaikan dakwah melalui media musik dan perfilman, sehingga kita melihat akhir-akhir ini marak sebagian juru dakwah, artis , pemusik dan pelawak memanfaatkannya sebagai media dakwah(!?). Bahkan sebagian aktivis da’wah haraki menggunakan nasyid (nyanyian) dan sandiwara Islami (!) sebagai sarana dakwah dan tarbiyahnya.

Hal ini tentu telah menyelisihi prinsip agama yang mulia ini. Islam tidak mengizinkan sarana-sarana yang seperti itu yang sangat jelas mengandung perbuatan haram seperti percampuran lelaki dan perempuan, sentuhan lelaki dan perempuan yang bukan mahram, dusta, musik yang justru melalaikan hati dan kerusakan lainnya. Karenanya, tidak ada dalam kamus Islam istilah musik islami atau nyanyian islami atau film islami dan yang semisalnya. Istilah-istilah seperti itu baru muncul dan dikenal seiring dengan munculnya Jama’ah jama’ah dakwah hizbiyyah harakiyah. Panutan mereka ialah sekte-sekte Shufiyyah yang menjadikan alunan-alunan musik, irama-irama lagu dan syair-syair sebagai bagian yang tidak lepas dari mereka dalam ibadah dan praktek keagamaan. Ini jelas menyelisihi petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Contoh 2

Bahkan yang lebih aneh lagi, munculnya orang orang yang menamakan diri mereka sebagai pejuang Islam dan pembela martabat kaum Muslimin (!) melalui cara melancarkan teror, intimidasi peledakan, bom bunuh diri, pembunuhan dan mencuri serta perampokan demi jihad (!?). Subhanallâh! Apakah kerusakan seperti ini dibenarkan oleh Islam? Benarkah aksi-aksi di atas termasuk jihad? Ya, benar, tetapi jihad di jalan setan, bukan jihad di jalan ar-Rahmân.

Tentu ini adalah perbuatan yang diharamkan oleh Islam, dan sungguh para pelakunya telah berbohong atas nama Allâh, Rasul-Nya dan agama yang mulia ini. Sebab dengan nekad, mereka menamakan kezhaliman dan perbuatan keji yang tidak manusiawi itu dengan jihad dan amar ma’ruf nahi munkar. Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai rahmat bagi alam semesta berlepas diri dari aksi-aksi tersebut dan mengutuk para pelakunya dan menghukumi mereka sebagai kaum khawârij dan para terorisme yang melakukan kerusakkan, menebarkan keresahan, kekacauan dan ketakutan di permukaan bumi ini. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَلَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَاحِهَا

Dan janganlah kamu melakukan kerusakkan di permukaan bumi setelah adanya kebaikan” (QS, Al-A’râf/7:56)

Islam tidak pernah menghalalkan pencurian dan perampokkan, sekalipun untuk tujuan baik, sebab Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allâh. Dan Allâh Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (QS. al-Mâidah/5: 38)

إِنَّمَا جَزَاءُ الَّذِينَ يُحَارِبُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَسْعَوْنَ فِي الْأَرْضِ فَسَادًا أَنْ يُقَتَّلُوا أَوْ يُصَلَّبُوا أَوْ تُقَطَّعَ أَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُمْ مِنْ خِلَافٍ أَوْ يُنْفَوْا مِنَ الْأَرْضِ ۚ ذَٰلِكَ لَهُمْ خِزْيٌ فِي الدُّنْيَا ۖ وَلَهُمْ فِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ

Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allâh dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar” (QS. al-Mâidah/5:33)

Dan Allâh Azza wa Jalla telah mengharamkan bermacam bentuk kezdoliman, sebagaimana dalam hadits qudsi:

يَا عِبَادِي إِنِّي حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلَى نَفْسِي وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرَّمًا فَلَا تَظَالَمُوا

Wahai hamba-Ku, sesungguhnya Aku telah mengharamkan kezhaliman atas diri-Ku, dan Aku haramkan juga di antara kamu, maka janganlah kamu saling menzhalimi” [8]

Kesalahan dan kezhaliman para penguasa tidak membolehkan kita untuk mengingkarinya dengan sarana (cara) yang tidak diperbolehkan (tidak syar’i), seperti kudeta, demonstrasi dan angkat senjata, serta membeberkan dan menyebarkan kesalahan-kesalahannya di media massa dan mimbar. Sebab, hal itu tidak menyelesaikan permasalahan, bahkan akan menambah kerusakan dan menimbulkan fitnah yang lebih besar, akan tetapi dengan mengugnakan cara-cara yang syar’i,

yaitu dengan memberikan nasehat secara langsung dengan secara berduaan (jika hal itu memungkinkan), atau menulis surat kepadanya, serta mendoakan kebaikan baginya, sebab kebaikan mereka adalah kebaikan untuk masyarakat dan negara itu sendiri, dan sabar menghadapi kezhalimannya, karena kezhaliman para penguasa disebabkan oleh kezhaliman rakyatnya sendiri, karena merupakan sunnatullâh bahwa Allâh Azza wa Jalla akan menjadikan para penguasa (pemimpin) yang memiliki karakter dan keimanan seukuran dengan perilaku, karakter, kepribadian, mentalitas dan keimanan masyarakat suatu negeri. Oleh karenanya, masyarakat jangan bisa menyalahkan dan mengkritik pemerintah saja, tetapi mereka harus mengkoreksi diri dan intropeksi jiwa, sejauh mana mereka telah berbuat keadilan dan meninggalkan kezhaliman.

Tidak heran, kalau para terorisme yang menghalalkan segala cara untuk mewujudkan tujuan mereka menamakan aksi dan teror mereka dengan jihad sehingga mereka siap mati dan berkorban demi hal itu, karena pemikiran mereka telah terkontaminasi oleh pemikiran sesat takfîri sehingga mereka meyakini hal tersebut suatu kebaikkan yang harus dilakukan dan diperjuangkan. Oleh sebab itu, mereka rela mati untuk memperjuangkan ‘jihad’ mereka ini. Dari sini dapat diketahui, mengapa mereka sulit untuk bertaubat dan meninggalkan aksi bom bunuh diri itu. Pasalnya, mereka telah meyakininya sebagai kebaikan dan tidak pernah ada dalam sejarah orang yang bertaubat dari kebaikan. Hal ini menjelaskan kepada kita akan bahayanya pemikiran yang sesat (syubhat). Imam Sufyân ats-Tsauri rahimahullah mengatakan: “Bid’ah lebih disukai oleh iblis dari maksiat, karena pelaku maksiat mudah bertaubat, dan pelaku bid’ah tidak bisa (sulit) bertaubat”[9] .

Contoh 3

Sebagian yang ikut serta dalam percaturan demokrasi yang bersumber dari pemikiran kufur, tidak malu-malu untuk menjalin koalisi (bekerjasama) dengan partai partai non-Islam untuk menegakkan syari’at Islam atau daulah Islamiyah (!?), sebagaimana yang dilakukan dan didengungkan oleh sebagian partai politik atau para aktivis dakwah haraki. Dan sudah tidak malu lagi mencalonkan diri dalam pilkada sebagai wakil dari calon kepala daerah seorang wanita dengan foto berdampingan yang terpampang di banyak tempat umum.

Bahkan seluruh jama’ah dakwah hizbiyyah harakiyah dengan berbagai macam isu yang mereka usung dan latar belakang –secara umum- menggunakan kaedah yang batil ini (menghalalkan segala cara demi tujuan). Maka, tidak heran kalau kita melihat dalam dakwah mereka terdapat banyak penyimpangan dari prinsip prinsip aqidah Ahlu Sunnah dan menyelisihi sarana sarana dakwah para Nabi dan dakwah generasi Salaf.

Karena itu, mengikuti manhaj dakwah Salaf adalah satu-satunya pilihan terbaik untuk mengenal Islam, mengamalkan dan mendakwahkannya. Manhaj dakwah salafiyah selalu menggunakan sarana sarana yang syar’i dan komitmen dengannya dalam mewujudkan tujuan yang mulia dan agama yang suci, indah lagi sempurna ini. Mereka selalu berjalan bersama dalil kemana saja dalil itu mengarah. Inilah salah satu satu keistimewaan dakwah yang berkah ini. Walillâhil hamd.

Penutup

Demikian, semoga kita semua dibimbing oleh Allâh Azza wa Jalla untuk mempelajari ilmu yang bermanfaat dan mengamalkanya, dan untuk selalu memperhatikan niat (tujuan) yang baik, sarana yang baik dan dampak yang baik dalam setiap amalan yang kita lakukan. Sebab, itulah amalan yang disyariatkan oleh agama. Syaria’t Islam yang sempurna dan mulia ini datang dengan membawa maksud yang baik, sarana yang baik dan memperhatikan akibat (dampak) yang baik dan melarang dari seluruh niat yang tidak baik, sarana yang keji dan dampak negatif. Wallâhu a’lam.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XIV/1432H/2011. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. HR. al-Bukhâri no. 2692 dan Muslim no. 6799. Ini hádala lafazh riwayat beliau. Imam al-Bukhâri rahimahullah memberi judul hadits ini dengan (باب ليس الكذاب الذي يصلح بين الناس) “Bab: Bukanlah pembohong orang yang mendamaikan antara manusia”. Sementara Imam Nawawi rahimahullah  memberi judulnya dengan (باب تحريم الكذب وبيان ما يباح منه) “Bab: haramnya berbohong dan penjelasan apa (kebohongan) yang diperbolehkan”.
[2]. HR. al-Bukhâri no. 3039, 3030 dan Muslim no. 4637, 4638, dari hadits Jâbir bin ‘Abdillâh dan Abu Hurairah radhia’llahu’anhu. Bahkan Imam al-Bukhâri dalam kitah Shahîhnya menulis sebuah bab berjudul: (باب الكذب في الحرب) “Bab: Kebohongan dalam perang”. Dan Imam Nawawi memberi judul bab hadits di atas dengan: (باب جواز الخداع في الحرب) “Bab: bolehnya penipuan dalam peperangan”.
[3]. Lihat Syarh Shahîh Muslim 12/45 dan 16/158 Cet. Dar Ihya’ Turats al ‘Arabi.
[4]. Sebagaimana yang ia paparkan dalam karyanya al-Amîr (The Prince) hlm. 20. Lihat Qawâ’idul Wasîlah fisy Syarî’atil Islâmiyyah hlm. 291
[5]. Lihat Qawâ’idul Wasîlah hlm. 299-302
[6]. Qawâidul Ahkâm 1/112
[7]. Mukhtashar al-Fatâwa al-Mishriyyah (hlm. 169
[8]. HR. Muslim no. 6737
[9]. Diriwayatkan oleh al-Lâlaka’i dalam Syarh Ushûl I’tiqâd Ahlis Sunnah no. 238 dan Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliya 7/26. Lihat Majmu’ Fatâwa 10/9-10

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *