Terkadang, ada pergeseran makna pada sebuah kata yang diserap ke dalam bahasa lain. Contoh, “panci” dalam bahasa Belanda adalah wajan, berbeda bentuknya dengan panci yang ditemui di negeri kita. Dalam bahasa Arab, kata “ziarah” memiliki arti kunjungan secara umum, sedangkan di negeri kita lebih identik dengan mengunjungi kuburan. Demikian pula dengan pergeseran makna kata “syirik” dan “munafik” yang tinjauannya akan diulas dalam tulisan ini, baik secara bahasa maupun syariat, serta diakhiri dengan jalan kita dalam menyikapinya.
Antara syirik dan iri hati
Alhamdulillah, sudah banyak yang memahami arti syirik sesuai dengan konteks ajaran Islam, yaitu sikap menyekutukan Allah Ta’ala. Akan tetapi, masih dijumpai sebagian kalangan yang memahami bahwa syirik memiliki arti iri hati. Terdapat setidaknya tiga kemungkinan terkait alasan munculnya pemahaman ini, yaitu:
Pertama: menyamakan kata syirik dengan sirik. Kedua kata ini memiliki makna yang berbeda. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), syirik berarti penyekutuan Allah dengan yang selain-Nya, sedangkan sirik berarti iri hati atau dengki.
Kedua: terjadi proses penyerapan bahasa di luar konteks syariat. Dalam bahasa Arab, kata syirik dapat bermakna penyekutuan (isyrak) dan perbandingan (muqaranah). [1] Dengan demikian, secara bahasa terdapat sisi kesamaan antara makna syirik dengan dengki jika diartikan sebagai perasaan negatif yang timbul karena membandingkan nikmat orang lain yang tidak ia dapatkan.
Ketiga: mengira bahwa syirik berarti dengki, sedangkan syirik yang sebenarnya disebut dengan kata musyrik. Perlu diketahui bahwa syirik adalah perbuatan menyekutukan Allah, sedang musyrik adalah pelaku dari perbuatan syirik.
Seluruh kemungkinan di atas hanya mempertimbangan aspek kebahasaan saja. Adapun dalam Islam, syirik didefinisikan sebagai sikap menyetarakan Allah dengan yang selain-Nya dalam perkara yang merupakan kekhususan bagi Allah. [2] Contohnya seperti meyakini bahwa ada yang dapat mengatur jagad raya selain Allah, menjadikan sosok tertentu sebagai sesembahan selain Allah, atau meyakini bahwa ada yang mampu melihat atau mendengar hal gaib seperti Allah, dan masih banyak lagi.
Berdasarkan pengertian tersebut, tentunya dengki tidak dapat dikatakan sebagai kesyirikan, karena terdapat perbedaan antara keduanya. Syirik merupakan dosa terbesar yang tidak diampuni jika pelakunya tidak bertobat hingga wafat, lain halnya dengan dengki yang dalam syariat disebut sebagai hasad. Allah Ta’ala berfirman,
اِنَّ اللّٰهَ لَا يَغْفِرُ اَنْ يُّشْرَكَ بِهٖ وَيَغْفِرُ مَا دُوْنَ ذٰلِكَ لِمَنْ يَّشَاۤءُۚ
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, tetapi Dia mengampuni dosa yang selain (syirik) itu bagi siapa yang Dia kehendaki.” (QS. An-Nisa: 48)
Hasad (dengki) termasuk dosa besar. Banyak ulama yang memaknai hasad sebagai sikap mengharapkan hilangnya nikmat dari orang lain, jika sang pendengki tidak mendapatkan nikmat tersebut. [3] Dengan demikian, dengki merupakan dosa besar, namun bukan merupakan kesyirikan, sehingga para pendengki apabila tidak bertobat hingga akhir hayat, nasibnya di akhirat kelak dapat diampuni maupun tidak sesuai kehendak Allah Ta’ala.
Baca juga: Mengapa Syirik adalah Dosa Terbesar?
Menyembunyikan sisi buruk, pasti munafik?
Banyak yang mengartikan munafik sebagai sikap bermuka dua, lain depan lain belakang. Munafik dalam bahasa Arab berarti orang yang memiliki sifat nifaq. Secara bahasa, nifaq adalah perbedaan antara yang tampak dengan yang tersembunyi. [4] Secara istilah, nifaq berarti sikap menampakkan diri di depan manusia bagai orang yang berada di atas kebenaran, padahal ia menyembunyikan hakikat kebatilan dalam dirinya. [5] Sampai di sini, masih terdapat kesesuaian antara pemahaman masyarakat dengan penjelasan syariat.
Hanya saja, perlu ditinjau kembali anggapan sebagian orang bahwa segala bentuk tindak menyembunyikan sisi buruk adalah bentuk kemunafikan. Bagi mereka, tidak usah malu berbuat dosa secara terang-terangan supaya tidak jadi munafik. Akhirnya, mereka kerap menilai bahwa orang yang beramal saleh, bersikap baik pada orang lain, dan tidak menampakkan dosa mereka sebagai orang sok baik dan munafik.
Menutupi dosa dan tidak menampakkannya belum tentu termasuk kemunafikan, bahkan hal ini diperintahkan oleh syariat. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
كل أمتي معافى إلا المجاهرين
“Setiap umatku dimaafkan, kecuali orang-orang yang terang-terangan menampakkan dosa mereka.” [6]
Mungkin ada yang bingung. Kita tidak boleh menampakkan dosa, tapi kalau disembunyikan bukankah itu termasuk sikap bermuka dua? Baik di depan, namun jelek di belakang. Jadi, sebenarnya kita harus apa?
Jawabannya, tentu saja kita baik di depan maupun di belakang orang lain, tidak ada pilihan lain. Memang benar bahwa setiap orang pasti punya dosa, namun coba kita bedakan dua kondisi berikut:
Pertama: menyembunyikan dosa semata untuk menjaga citra positif di depan orang lain
Kedua: menyembunyikan dosa disertai penyesalan dan tobat kepada Allah.
Penyesalan dan tobat inilah yang membedakan munafik dengan orang beriman yang tidak mengumbar aibnya. Secara logis pun sebenarnya sangat gamblang. Orang yang berbuat buruk, namun kemudian menyesal, bertobat, dan tetap berbuat baik di hadapan orang lain, di mana sisi muka duanya? Benar bahwa ia pernah berbuat salah, namun tidak ada perbedaan dalam hatinya baik ketika di depan orang lain maupun ketika bersendirian, sehingga ia bukan orang munafik.
Orang yang gemar mengajak orang-orang untuk mengumbar dosa di ranah publik dengan alibi “daripada jadi munafik”, justru ialah yang dikhawatirkan tertimpa kemunafikan. Di depan orang lain, mereka seakan peduli dan tidak ingin orang lain menjadi munafik. Padahal, di dalam relung hatinya yang terdalam, ia ingin bebas berbuat dosa tanpa teguran sosial, ingin dosanya tidak lagi dianggap aib, ingin perbuatan buruknya dinormalisasi agar bisa dilakukan tanpa beban di tengah masyarakat yang masih menyadari kebaikan nilai-nilai syariat.
Kembali mengenal inti hidup
Menimbang bahwa makna syirik dan munafik yang dipahami masyarakat di atas sudah diserap ke dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), maka kita perlu menyesuaikan konteks pembicaraan ketika menyebutkan dua kata ini. Untuk membedakan konteks, tentunya perlu ilmu yang didapat melalui proses belajar agama. Kita perlu meluangkan waktu untuk kembali memahami dasar-dasar agama, inti hidup ini. Apakah selama ini kita mengenalnya melalui proses belajar yang runut dengan niat mengamalkannya, ataukah selama ini kita belum benar-benar mengenal agama ini, kecuali hanya mengalir saja di sela-sela urusan dunia kita, entah yang kita pahami selama ini benar ataukah sebaliknya. Semoga Allah memberi taufik kepada kita semua.